Opini  

RAN PE: Jalan Baru Adu domba Antar Masyarakat?

Oleh: Djumriah Lina Johan
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Pembentukan RAN PE disebut untuk merespons tumbuh kembang ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme.

“Keberadaan RAN PE diharapkan dapat menjadi panduan dalam mengatasi pemacu (driver) ekstremisme berbasis kekerasan, khususnya yang mengarah pada tindak pidana terorisme di Indonesia,” seperti dikutip dari salinan Perpres Nomor 7 Tahun 2021, Jumat (15/1).

Perpres tersebut mencantumkan lima sasaran dari RAN PE. Pertama, meningkatkan koordinasi antarkementerian/lembaga dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (ekstremisme).

Kedua, meningkatkan partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme yang dilakukan kementerian/lembaga, pemda, masyarakat sipil, dan mitra lainnya.

Ketiga, mengembangkan instrumen dan sistem pendataan dan pemantauan untuk mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme.

Lalu, meningkatkan kapasitas aparatur dan infrastruktur secara sistematis dan berkelanjutan, untuk mendukung program-program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme.

Terakhir, meningkatkan kerja sama internasional, baik melalui kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral, dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme.

“Sasaran umum RAN PE adalah untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” bunyi perpres tersebut. (CNNIndonesia.com, Jumat, 15/1/2021)

Baca juga  Dilema Masyarakat Dengan Kebijakan Buka Tutup Tempat Wisata

Bila ditelaah substansi Perpres No. 7/2021 tentang RAN PE menuai polemik dan berpotensi besar menciptakan kegaduhan. Isi peraturan tersebut bukan fokus di aksi terorisme, tapi menyasar pada keyakinan dan mengarah kepada gejala pra aksi terorisme yang kemudian dibahasakan sebagai ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme. Sementara diksi ekstrimisme muktitafsir dan ambigu. Potensi subyektifitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol.

Upaya mengaitkan terorisme dengan dakwah para ulama atau dengan Islam jelas bukan hal baru. Upaya ini terus diulang-ulang sejak program War on Terrorism (Perang Melawan Terorisme) dimulai oleh Amerika Serikat di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim (termasuk Indonesia), segera sejak terjadinya Peledakan WTC 11 September 2001. Sejak itu Amerika menegaskan bahwa Perang Melawan Terorisme bakal memakan waktu lama alias perang jangka panjang.

Tujuannya tidak lain karena yang diperangi oleh AS bukanlah semata-mata terorisme, tetapi Islam itu sendiri sebagai kekuatan ideologi dan politik. Sebab, para pejabat dan politisi AS, termasuk sebagian intelektualnya, memang menganggap Islam sebagai ancaman potensial bagi ideologi Kapitalisme yang diusungnya, setelah ancaman ideologi Sosialisme-komunis tidak ada lagi pasca runtuhnya Uni Sovyet. Inilah sebetulnya yang harus disadari dan dikritisi.

Dalam konteks Islam, kita tentu sepakat, bahwa tindakan teror atau kekerasan apapun adalah tidak dibenarkan. Di luar itu, teror dan kekerasan apapun yang dilakukan oleh negara -meski atas nama keamanan – juga seyogyanya harus ditolak, apalagi sekadar didasarkan pada kecurigaan. Contohnya adalah penangkapan yang pernah dilakukan oleh Kepolisian Jawa Tengah terhadap 17 anggota Jamaah Tabligh yang sedang mengadakan ‘khuruj’ (dakwah) di Purbalingga dan Solo. Polisi menangkap mereka hanya didasarkan pada tampilan fisik luar seperti berjenggot dan bersorban.

Baca juga  Opini: Generasi Muda Sasaran Strategi Gerakan Radikalisme di Indonesia

Contoh lainnya adalah pengawasan oleh negara terhadap kegiatan dakwah. Meski Kapolri membantahnya, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi justru mendukung pemantauan dakwah di masjid-masjid. “Lakukan saja, itu tugas polisi sebagai pengayoman masyarakat,” ujarnya. (Tempointeraktif.com, 25/8/2009).

Andai hal ini dilakukan, berarti Pemerintah telah melakukan bentuk ‘teror’ baru terhadap umat Islam. Selain ‘ngawur’, tindakan demikian juga melecehkan Islam; seolah-olah dakwah Islamlah faktor pemicu munculnya aksi-aksi terorisme. Selain itu, tindakan Kepolisian mengawasi kegiatan dakwah akan memberikan pembenaran, bahwa secara keseluruhan para da’i, mubalig dan khatib terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dianggap membahayakan keamanan negara. Hal ini jelas berbahaya karena akan berdampak pada munculnya disintegrasi (perpecahan) di tengah-tengah masyarakat. Jika sampai terjadi demikian, berarti Pemerintah sendirilah yang sesungguhnya menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyaman di masyarakat.

Jika dicermati, akar terorisme atau kekerasan di tengah-tengah kaum Muslim bisa karena adanya pemahaman agama yang keliru. Dalam hal ini, harus diakui bahwa ada sebagian orang/kelompok Islam yang menjadikan teror atau kekerasan atas nama jihad sebagai bagian dari upaya melakukan perubahan masyarakat. Mereka ini pada dasarnya tidak memahami tharîqah (metode) Rasulullah saw.—yang sebetulnya tidak pernah menggunakan kekerasan—selama dakwahnya pada Periode Makkah.

Bahkan aksi jihad (perang) baru dilakukan oleh Rasulullah saw. setelah berdirinya Negara Islam di Madinah, yang sekaligus saat itu beliau menjadi kepala negaranya. Artinya, jika orang/kelompok dakwah konsisten memahami bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi Makkah, maka tharîqah dakwah Rasulullah saw. di Makkah—yang tidak pernah menggunakan aksi-aksi kekerasan—itulah yang harus dicontoh saat ini.

Baca juga  Opini: Memonopoli Peran Wanita Demi Kesejahteraan Ekonomi, Benarkah?

Karena itu, seluruh komponen umat Islam, khususnya para ulama dan intelektualnya, juga kalangan pesantren serta berbagai organisasi dan partai Islam, sudah seharusnya bersatu dan menyatukan sikap dalam Perpres tersebut. Pertama: umat tidak boleh mudah untuk saling curiga, juga tidak terpancing oleh provokasi apapun yang bisa semakin menambah keruh suasana. Semua informasi yang disampaikan media juga harus dicek. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu (QS al-Hujurat [49]: 6).

Ulama dan aktivis musim harus mulai bersikap kritis dan waspada terhadap setiap upaya yang berusaha mengaitkan aksi-aksi terorisme dengan gerakan Islam, dakwah Islam; juga dengan wacana syariah dan Khilafah Islam; atau dengan Islam itu sendiri. Sebab, itulah justru yang selama ini dikehendaki oleh musuh-musuh Islam demi mencitraburukkan Islam dan kaum Muslim, yang pada akhirnya melemahkan kekuatan Islam dan semakin melanggengkan sekularisme. Semua itu hakikatnya adalah makar orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum Muslim. Hanya dengan syariah umat ini bisa mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi, termasuk yang diakibatkan oleh propaganda Perang Melawan Terorisme.