Parepare, OPINI — Apa yang terlintas di benak Anda ketika melihat bendera merah putih, simbol kehormatan dan kedaulatan negara, berkibar dalam kondisi koyak dan lusuh?. Apakah ini sekadar kelalaian, atau justru mencerminkan sesuatu yang lebih dalam sebuah ketidakpedulian?
Pemandangan kontras ini terlihat di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Parepare. Di tengah kewibawaan institusi yang bertanggung jawab atas urusan pertanahan, berkibarlah bendera yang jauh dari kesan layak, compang-camping, kusam, dan terabaikan.
Ironisnya, momen ini tertangkap secara tidak sengaja oleh kelompok aktivis Gerakan Anti Mafia Tanah Republik Indonesia (GAMAT-RI) saat mereka berkunjung ke kantor BPN Parepare pada Rabu (26/2/2025) lalu. Kedatangan mereka bukan tanpa alasan. Mereka membawa kegelisahan masyarakat yang tengah menghadapi persoalan serius.
Bendera yang terkoyak itu, secara simbolik, seakan menggambarkan situasi yang terjadi di dalamnya. Jika pengelolaan sebuah simbol negara saja tak mendapat perhatian, bagaimana dengan administrasi pertanahan yang menyangkut hak hidup banyak orang?
BPN, sebagai institusi yang berperan dalam menjamin legalitas kepemilikan tanah, seharusnya mencerminkan profesionalisme dan integritas dalam setiap aspeknya termasuk dalam merawat simbol negara. Apakah kondisi bendera yang terabaikan ini hanya kebetulan, atau menjadi sketsa dari tata kelola yang juga perlu diperbaiki?
Pertanyaan ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk merenung. Jika sebuah lembaga negara mengabaikan simbol yang menjadi identitas bangsa, apakah kita bisa berharap lebih terhadap tanggung jawab mereka dalam mengurus hak-hak rakyat?
Negara hadir tidak hanya melalui kebijakan dan peraturan, tetapi juga dari hal-hal kecil yang mencerminkan kepedulian dan penghormatan terhadap simbol-simbol kebangsaan. Mungkin, memperbaiki bendera yang terkoyak adalah langkah sederhana, tetapi dampaknya bisa lebih besar dari yang dibayangkan.
(Penulis: Andi Mapassere, Ketua Gerakan Anti Mafia Tanah Republik Indonesia DPC Parepare)