Opini  

Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Pesantren, Potret Buram Sistem Sekuler Liberal

Penulis: Hadira/Praktisi Pendidikan

Pesantren merupakan salah satu pilihan terbaik bagi setiap orang tua yang menginginkan pendidikan agama untuk anak-anaknya. Namun banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di pesantren menjadi hal yang menakutkan bagi para orang tua. Bukannya menjadi tempat ternyaman menuntut ilmu, malah menjadi benih munculnya predator anak yang siap memangsa mereka.

Menurut catatan Komnas Perempuan, kekerasan seksual dan diskriminasi yang terjadi di pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam berada di urutan kedua, yaitu 19%. Peringkat satunya adalah perguruan tinggi. Data ini diambil dari tahun 2015—2020, sedangkan grafiknya terus naik hingga 2022. (BBC Indonesia, 20/10/2022).

Adapun pada tahun 2023 ini, berdasarkan data yang dikumpulkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahwa kasus kekerasan seksual selama 5 bulan terakhir mencapai 22 kasus dengan jumlah korban 202 anak peserta didik. Pada Januari 2023, sedikitnya ada 21 anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru rebana di Batang, Jawa Tengah.

Masih pada awal tahun 2023 ini, setidaknya empat kasus kekerasan seksual terungkap di Lampung dan Jember, Jawa Timur. Selanjutnya kasus yang begitu menghebohkan bagi masyarakat Sulawesi Barat terlebih warga Polman di bulan Juli kemarin, yaitu pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren berinisial ZU terhadap santri pria (SU) yang berumur 16 tahun. Bahkan berdasarkan keterangan ZU pada Polres Polman bahwa ia telah mencabuli 7 santri pria. Na’udzubillah

Baca juga  Tren Kejutan Ulang Tahun Merenggut Nyawa, Kok Bisa?

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual semakin bertambah dan mirisnya terjadi bahkan di lingkungan pendidikan berbasis agama. Muncul pertanyaan besar dibenak kita, loh kok bisa? Apa sih akar masalahnya? Sebenarnya yang menjadi akar masalah tersebut yaitu penerapan sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) di semua lini kehidupan yang melahirkan ide liberal (kebebasan). Ide ini terus dimasifkan, bisa kita saksikan saat ini orang-orang bebas melakukan apa saja tanpa memperdulikan hal itu boleh atau tidak dilakukan sebagai seorang muslim. Merasa bebas berekspresi termasuk ekspresi seksualnya. Mereka merasa bebas memilih menyukai sesama jenis, bebas melampiaskan libido kepada siapa pun dan apa pun. Mereka tidak takut dosa dan api neraka.

Kebijakan dalam sistem sekuler hari inipun selalu membuka celah terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual, sebagai contoh penayangan berbagai tontonan atau produksi film yang dapat membangkitkan syahwat, seperti pornografi dan pornoaksi di berbagai media, serta game daring yang penuh visual vulgar. Budaya pacaran yang makin mengkhawatirkan.

Juga perilaku perempuan yang mengumbar aurat, turut berkontribusi memperparah cara pandang terhadap lawan jenis dengan pandangan seksual dan syahwat, hingga ide liberal merasuk dan meracuni benak semua lapisan masyarakat, termasuk pimpinan dan pengasuh pondok pesantren sekalipun.

Selain itu, hukum untuk para predator anak juga tidak membuat jera, bahkan kurikulum pendidikan kian sekuler (memisahkan agama dengan kehidupan) menjadikan para pelajar dan pengajarnya jauh dari agama. Apabila landasan mereka bukan agama, maka hawa nafsulah yang akan bertindak. Akhirnya mereka hanya akan menginginkan kepuasan jasmani, yang penting senang, tidak peduli yang dilakukan halal atau haram. Inilah liberalisme, paham kebebasan bertingkah laku yang terus menyebar di negara bersistem sekuler. Hasilnya, sekalipun sekolah berbasis Islam, akan sulit terhindar dari budaya kufur ini sebab upaya liberalisasi begitu masif dari segala arah, mulai dari keluarga, kehidupan masyarakat, pendidikan, media dan lainnya.

Baca juga  Covid-19 Mengganas, Perlu Solusi Efektif dan Preventif

Demikianlah kondisi kita saat ini, bahkan negara lah yang menjadi garda terdepan penyebaran ide liberal. Dengan demikian, jika ingin menuntaskan kasus pelecehan dan kekerasan seksual, khususnya di pondok pesantren, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, negara harus dibangun berlandaskan akidah Islam dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, yang tentunya akan melarang keras paham kebebasan (liberalisme). Sebab, hukum asal perbuatan manusia ialah terikat dengan hukum syariat, sehingga perilaku predator seksual tidak akan marak dalam masyarakat Islam. Ini karena seseorang yang beriman akan senantiasa menjaga perbuatannya dari kemaksiatan.

Kedua, negara menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat dengan adanya kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i (laki-laki dan perempuan), larangan berzina dan berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), larangan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja, larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram.

Baca juga  Kisruh Pengelolaan Nikel: Korupsi vs Hilirisasi

Ketiga, menutup rapat semua pintu terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual dengan mengoptimalkan fungsi media dan informasi. Dalam hal ini menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan individu masyarakat, baik berupa tontonan atau tayangan/iklan yang mendorong bangkitnya syahwat dan seksualitas seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam.

Keempat, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, dimana seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Sehingga anak-anak memiliki akidah yang kuat sampai mereka dewasa, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat yang berdakwah dengan saling memberi nasihat di antara sesama.

Terakhir, memberi sanksi tegas yang membuat jera pelaku dengan menerapkan had (hukuman) Islam atas pelaku pelecehan seksual, perkosaan, ataupun tindak pidana lainnya dengan hukuman jilid, rajam, atau hukuman lain yang lebih berat sesuai tindak pidana yang dilakukan. Sehingga para pelaku akan berpikir ribuan kali untuk mengulang kemaksiatannya, serta hal itu akan menjadi pencegah bagi masyarakat yang lain.

Akan tetapi, semua hal di atas hanya akan terlaksana jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam bentuk Negara Islam, bukan negara dengan sistem sekuler liberal seperti saat ini. WalLahu a’lam bishshawab.