Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Pandemi COVID-19 yang terjadi di dunia membuat ekonomi banyak negara mengalami tekanan. Tak hanya Indonesia, Malaysia bahkan mencatat utang lebih dari 100% dari produksi Domestik bruto (PDB), diikuti AS.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hal ini terjadi karena pemerintah di berbagai negara berupaya untuk menahan tekanan akibat pandemi ini, namun tingkat utang Indonesia masih lebih baik dibanding negara lainnya.
“Proyeksi utang publik di seluruh dunia alami kenaikan. Jadi AS sudah di atas 100% untuk utang publik, Jerman, China dalam hal ini India di atas 60%. Malaysia dan Singapura di atas 100% dan berbagai negara lain yang mayoritas utang publiknya melonjak tajam tahun ini dan tahun depan,” jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga menjelaskan, pandemi virus Corona ini memang membuat defisit kas negara-negara jadi lebih melebar. Sebab setiap pemerintah mau tak mau harus bisa mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal untuk membantu rakyatnya yang kesulitan di tengah pandemi.
“Indonesia juga terjadi kenaikan utang publik terhadap GDP 38%. Ini adalah situasi yang dihadapi namun Indonesia dibanding negara lain akan keep-up untuk relatif lebih baik dan respon efektif agar ekonomi bisa bangkit kembali,” jelasnya (detikFinance, 7/1/2021).
Utang Solusi Unggulan Kapitalisme
Seakan Pandemi Covid-19 ini biang melebarnya defisit kas negara-negara di dunia termasuk di Indonesia. Padahal, secara alamiah inilah watak asli kapitalisme. Ada tidak ada pandemi, defisit itu akan ada bahkan bertambah parah. Sebab utang adalah solusi unggulan kapitalisme selain pajak. Inilah yang mereka sebut dengan kebijakan fiskal.
Rakyat diminta memahami kesulitan negara akibat pandemi ini, ironi, sebab di sisi yang lain negara tega memalak rakyat dengan pajak yang kian tahun tarifnya kian tinggi. Tak hanya tanah dan bangunan yang dipungut pajak, namun semua yang bersentuhan dengan kebutuhan rakyatpun kena pajak. Hingga muncul slogan “Manusia bijak taat pajak”. Narasi jebakan ini berhasil menghipnotis rakyat hingga beranggapan ketika ia telah taat pajak maka ia telah memberikan sumbangsih terbaik kepada negara dan sekaligus bersikap bijak.
Ulamapun mengatakan bahwa bayar pajak termasuk cinta tanah air, sebab manfaat pajak bagi pembangunan infrastruktur tidak boleh dianggap remeh. Faktanya, pajak yang dipungut terus menerus tak juga mewujudkan kesejahteraan , tak semua fasilitas umum yang dibangun dari pajak negara bisa dinikmati rakyat secara gratis. Contoh mudah adalah tol, jalan bebas hambatan itu tak gratis bagi rakyat, tarifnya terus menerus naik dan faktanya tak semua rakyat butuh tol.
Beban rakyatpun masih ditambah dengan utang yang terus menerus diambil oleh negara melalui menkeunya. Padahal secara pendapatan perindividu rakyat tak sama, namun kini setiap kepala bahkan hingga kepala bayi yang belum dilahirkan sudah menanggung utang 20 juta rupiah. Apakah ini tujuan bernegara? Negara utang rakyat yang bayar?
Salah Atur, Islam Solusinya
Dengan membandingkan lebaran defisit kas Indonesia tak selebar negara lain, tak berarti ini bisa diremehkan. Bahkan harus lebih waspada. Terlebih kemudian ada perbandingan utang Indonesia dengan negara lain, berapapun besaran utang wajib di bayar. Dan jahatnya kapitalis utang harus dibayar berikut bunganya.
Padahal rakyat Indonesia mayoritas Muslim namun akrab dengan transaksi riba yang diharamkan di dalam agamanya. Sampai kapan kaum Muslim terus menerus dihadapkan pada situasi yang kontradiktif ini? Betapa sulitnya beribadah hanya karena salah urus masalah keuangan.
Selamanya, pembiayaan dengan utang tak akan membawa pada perbaikan. Dan ini bukan solusi terakhir, masih ada alternatif solusi yang bisa diambil bahkan seribu kali lebih baik, yaitu apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Itulah alasannya mengapa Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul agar menjadi uswah hasanah (suri teladan yang baik) bagi umatnya dari kalangan manusia sendiri, semua agar mudah dipahami. “Laqod kaana lakum fii rosuulillaahi uswatun hasanatun” yang artinya “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab : 21).
Kewajiban kita sebagai umat Muslim adalah menaatinya. Sebab itulah bukti keimanan kita kepada Allah SWT dan RasulNya Saw. Rasulullah membiayai operasional negara adalah melalui pengelolaan sumber daya alam. Hal itu disyariatkan berupa kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Pengaturan ini tak ada dalam kapitalisme, sebab hukum berasal dari manusia, termasuk hukum untuk mengeksplore kekayaan alam, jatuhnya pada individu atau koorporasi, sehingga rentan di hegemoni.
Selain kepemilikan individu, maka itu dikelola oleh negara dan hasil pengelolaannya dikembalikan kepada rakyat baik langsung misal dengan penjualan murah energi yang menjadi kebutuhan rakyat seperti BBM atau tidak langsung seperti pembiayaan dan pembangunan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, jalan, penerangan, jalur komunikasi dan lain sebagainya.
Beban pembiayaan ini tidak pada individu swasta maupun partai sebagaimana hari ini, tapi murni negara. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Sekali lagi, kini bukan saatnya membandingkan hanya untuk mencari aman sesaat, namun benar-benar harus mengganti sistem dengan yang lebih baik. Wallahu a’lam bish showab.