Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi Dan Peradaban
Dugaan Pat gulipat data muncul setelah beberapa data kasus Covid-19 yang dikumpulkan dari kepala daerah di zona merah dianggap tidak wajar. Data kasus dari Jawa Timur yang dianggap paling tidak masuk akal. Di wilayah yang dipimpin oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa tersebut, rasio kasus aktif dan kasus rawat inap terlampau tinggi, melebihi rata-rata dunia yang sebesar 20-25 persen. Beberapa daerah di Jawa Timur juga memiliki jumlah kasus rawat inap yang melebihi angka kasus aktif (tempo.co, 22/7/2021).
Ahli epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riyono mempertanyakan penurunan kasus harian Covid-19 yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Sebab, penurunan kasus itu dibarengi dengan rendahnya testing atau pemeriksaan kasus. “Enggak boleh menurun (jumlah testing) disengaja atau tidak, ada manuver enggak? Supaya tanggal 26 Juli (PPKM) bisa dilonggarkan?,” (kontan.co.id,22/7/2021).
Menurut Pandu seharusnya Presiden Joko Widodo mempertanyakan mengapa jumlah testing Covid-19 menurun dalam beberapa hari terakhir. Sebab, kata dia, data itu akan dijadikan acuan untuk mengambil kebijakan dalam penanganan pandemi. “Itu yang saya harapkan dari presiden, (tapi) ternyata tidak. Yang dipilih hanya kasus yang menurun, enggak dicari tahu kenapa itu kasus bisa menurun, seolah-olah itu hasil dari PPKM,”
Pandu menilai kasus harian Covid-19 di Indonesia saat ini masih meningkat. Jika keterisian tempat tidur di rumah sakit masih meningkat dan kasus kematian masih tinggi, maka tidak benar kasus Covid-19 mengalami penurunan. Dan rasanya memang masih sangat prematur jika mengatakan pandemi sudah terkendali.
Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengatakan masih adanya daerah yang mengutak-atik data bahkan menyembunyikan data kasus Covid-19. Sedang anggota Komisi IX DPR Alifudin meminta pemerintah transparan terkait turunnya jumlah tes Covid-19, yang saat ini berdampak ke turunnya angka kasus Covid-19. Pasalnya, ada dugaan manipulasi data Covid-19 demi pelonggaran PPKM Level 4 pada 26 Juli, jika jumlah kasus menurun. “Harus terbuka ke publik, apalagi naudzubillah jika ada manipulasi data dengan cara testing yang dikurangi, dan terlihat kurvanya semakin menurun karena testing-nya juga dikurangi,” (kompas.com,22/7/2021).
Masih saja pemerintah menciptakan untrust rakyat kian melebar, bisakah jika keadaan ini disebut pengendalian pandemi atau pengendalian data? Sebab muncul pendataan yang serampangan hanya karena ingin PPKM darurat segera berakhir, nyatanya pemerintah pusat kemudian memutuskan untuk memperpanjang hingga 2 Agustus, yang artinya lagi, PPKM darurat sebelumnya gagal total, lantas apa gunanya merekayasa data, demi apa? Padahal sebenarnya fokus pemerintah adalah kepada kesehatan rakyat secara menyeluruh. Bukannya mempermainkan data yang artinya mempermainkan hidup rakyat. Astaghfirullah.
Jika merujuk pada perolehan data tentang penderita Covid-19 selama 1,5 tahun pandemi, pemerintah pusat dan daerah banyak berakrobat dengan angka-angka dan diduga memanipulasi data demi penilaian keberhasilan penanganan pandemi. Seakan-akan berlomba mendapatkan penghargaan yang paling terbaik dalam menangani Covid. Padahal faktanya sama saja, sebab pemerintah daerah hanya menerapkan keputusan pemerintah pusat. Tak lebih, demikian pula dengan pendanaan, pemerintah daerah tak lebih baik dengan pemerintah pusat. Setengah hati.
Kebijakan berfokus pada penuntasan pandemi sangat mendesak diimplementasi, sedangkan jika melihat dari fakta di atas, pengendalian data hanya menjadi tameng bagi pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab menuntaskan pandemi. Tak terkendalinya virus memorakporandakan kehidupan masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia, namun masih keukeuh pemerintah mengatakan penanganan ini yang terbaik.
Sikap abai dan cenderung main-main adalah ciri khas dari kapitalis. Alih-alih meriayah ( mengurusi ) rakyat yang ada malah mengokohkan posisi mereka di hadapan para investor. Setiap kebijakan yang dikeluarkan sarat dengan perhatian yang 90% memudahkan investor itu bergerak di tengah kesulitan ekonominya. Berbagai insentif, bantuan sosial dan yang lainny, selalu bisa dipastikan bagian mereka lebih banyak dan fix.
Sementara rakyat? Isolasi mandiri sulit karena tak ada jaminan negara guna memenuhi kebutuhan hidupnya, namun ketika mereka terpaksa harus keluar aparat siap menghadang mereka bahkan memaksa putar balik, baik dengan kekeraan fisik mapun verbal. Rakyat lapar, sakit, stres, depresi, pengangguran kemana mesti bersandar?
Saatnya muhasabah diri, kembali kepada pengaturan syariat, sebab sejatinya kaum Muslim hanya mulia ketika dipimpin oleh syariat Allah SWT, zat yang telah mengeluarkan manusia dari kegelapan dan menuntun dengan cahayaNya menuju terang benderang. Umar berkata, “Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur”. Mereka bertanya, “bagaimana suatu negeri bisa hancur padahal dia makmur?” Ia menjawab, “Jika pengkhianat menjadi petinggi dan harta dikuasai orang-orang fasik. Fasik adalah lawan adil dan tidak ada keadilan selain dalam Islam. Walllahu a’lam bish showab.