

Oleh : Hamzinah (Pemerhati Opini Medsos)
Ibarat telah jatuh, tertimpa tangga pula. Demikianlah penderitaan petani garam di negeri ini. Pemerintah membuka kembali keran impor garam sebanyak 3,07 juta ton di tahun 2021. Keputusan ini diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi, Safri Burhanuddin menjelaskan angka impor ini dihitung berdasarkan produksi 2021 yang diperkirakan hanya berkisar 2,1 juta ton, sementara kebutuhan terus naik tiap tahunnya dan mencapai 4,67 juta ton. Bersamaan dengan itu, Safri juga memastikan target swasembada garam yang dicanangkan tahun 2022 batal tercapai. Pasalnya tren kenaikan impor masih akan berlanjut akibat lonjakan kebutuhan bahan baku seiring bertambahnya pabrik berbasis garam industri. (tirto.id).
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan alasan pemerintah membuka kembali impor garam sebanyak 3 juta ton tahun ini berkaitan dengan kuantitas dan kualitas garam lokal. Apalagi garam impor sebenarnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri. Ia mengatakan, kualitas garam lokal belum sesuai dengan yang dibutuhkan industri. Maka, menjadi pekerjaan rumah bersama untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas garam dalam negeri hingga bisa memenuhi kebutuhan industri. (money.kompas.com).
Jika terealisasi seluruhnya, impor 2021 ini juga akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Menurut data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah dicapai 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 2,835 juta ton.
Janji Swasembada Garam Gagal
Target swasembada garam yang dicanangkan pemerintah pada 2022 bisa dipastikan gagal. Keputusan pemerintah yang memutuskan untuk terus mengimpor garam, sejatinya bertolak belakang dengan janji yang pernah dilontarkan Jokowi beberapa tahun silam. Ia begitu yakin Indonesia dapat swasembada garam secepatnya. Pada 2015 telah dirumuskan peta jalan swasembada garam nasional dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi. (cnbcindonesia.com).
Peta tersebut telah disusun Kementerian KKP, Kementerian Perdagangan serta Kemenerian Perindustrian. Target yang dicanangkan dalam peta itu ialah Indonesia terbebas dari impor garam. Namun, hingga saat ini yang terjadi impor garam membanjiri negeri terutama untuk kebutuhan industri.
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor. Belum lagi masuknya garam impor akan membuat pengusaha semakin enggan menyerap garam petani. (tirto.id).
Akar Persoalan
Pemerintah harusnya menyadari bahwa penyebab utama kacaunya tata kelola garam karena sistem kapitalis dengan konsep neoliberal yang diterapkan. Sistem ini telah menghilangkan fungsi pemerintah yang sesungguhnya sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Peran pemerintah tidak lebih sebatas regulator dan fasilitator, yaitu pembuat regulasi bagi kemudahan masuknya korporasi. Bahkan sangat tampak keberpihakan yang begitu besar pada korporasi, sedang nasib rakyatnya sendiri diabaikan.
Menteri Kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti juga menyayangkan kebijakan impor ini. “Bila impor garam bisa diatur tidak lebih dari 1,7 juta ton .. maka harga garam petani bisa seperti tahun 2015 sd awal 2018 .. bisa mencapai rata2 diatas Rp 1.500 bahkan sempat ke Rp 2.500 .. sayang dulu 2018 kewenangan KKP mengatur neraca garam dicabut oleh PP 9 ..”. Cuitnya melalui akun Twitter @susipudjiastuti, (Minggu, 21/3/2021).
Alih-alih membuat kebijakan sistematis untuk memenuhi kebutuhan garam. Pemerintah melalui keputusan impor garam sesuai UU Cipta Kerja, justru membatalkan target swasembada dan mengabaikan jeritan petambak garam. Penen garam melimpah tetapi tidak laku di pasaran.
Pada aspek produksi, untuk mengejar target swasembada alih-alih mensupport para petani agar meningkatkan produksinya, pemerintah justru mendatangkan investor. Berbagai fasilitas seperti kemudahan perizinan dan pajak tak jarang diberikan. Termasuk impor pun diserahkan kepada korporasi importir yang makin leluasa melakukan pengendalian stok dan harga garam.
Di lain pihak, dukungan, fasilitas ataupun bantuan kepada petani garam lokal sangatlah minim. Baik dalam permodalan atau pengadaan teknologi untuk peningkatan kapasitas produksi mereka. Padahal, untuk meningkatkan kualitas garam lokal menjadi standar industri hanya membutuhkan penambahan sedikit teknologi lagi.
Islam Memberikan Solusi
Syariat Islam yang diturunkan Allah SWT adalah satu-satunya solusi bagi seluruh persoalan kehidupan manusia. Ketika manusia berpaling dari aturan Allah, maka tidak satupun masalah yang terselesaikan dengan tuntas dan benar. Terbukti, berpuluh-puluh tahun negeri ini menerapkan sistem kapitalisme demokrasi neoliberal dan mengabaikan syariat Islam, bukan kebaikan yang didapat namun persoalan yang terus menumpuk dan menyengsarakan rakyat.
Padahal negeri ini dianugerahi Allah SWT kekayaan alam yang berlimpah termasuk potensi bibir pantai yang sangat panjang sekitar 99.093 km dan gunung-gunung garam. Serta iklim tropis yang juga sangat mendukung. Semestinya menjadi modal untuk mewujudkan kedaulatan dalam pemenuhan garam serta membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Dalam pandangan Islam, negara harus hadir sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya”. (HR. Muslim dan Ahmad). Dan dalam hadits lain Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya…”. (HR.Muslim).
Berpijak pada nas ini, maka negara Islam yakni Khilafah harus hadir secara utuh dalam mengurusi kebutuhan pangan rakyat termasuk pengaturan garam. Mulai dari pengaturan di ranah produksi, distribusi hingga konsumsi. Keberpihakan dan pengurusan negara haruslah 100% untuk melayani hajat seluruh rakyatnya. Karenanya Khilafah akan mengatur sektor produksi sehingga terjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri tanpa bergantung impor serta berdampak pula pada kesejahteraan petaninya. Diantaranya negara mendorong para petani untuk maksimal meningkatkan produksinya.
Dukungan akan diberikan mulai dari edukasi dan pengetahuan, pengembangan teknologi, bantuan modal dan sarana produksi bagi petani yang tidak mampu, termasuk infrastruktur pendukung lainnya. Sementara di aspek distribusi, Khilafah akan melakukan pengawasan secara terus menerus agar terbentuknya keseimbangan harga secara alami. Di samping itu akan menghilangkan semua kondisi dan pihak-pihak yang menyebabkan harga terdistorsi.
Ketika negara hadir secara utuh untuk mengurusi dan melindungi rakyatnya, tidak akan terjadi kooptasi dan penguasaan hajat rakyat oleh pihak yang mengejar keuntungannya sendiri. Bahkan rakyat akan terlindungi dari korporasi-korporasi yang ingin mengeksploitasi seluruh sumber daya alam negeri ini. Sudah saatnya negeri ini kembali pada Syariah Kaffah yang berasal dari wahyu Allah SWT. Hanya itulah satu-satunya jaminan akan terselesaikannya seluruh persoalan dan krisis. Bahkan dengan penerapan Syariah Kaffah akan mengangkat derajat umat Islam dan bangsa ini kepada kemuliaan dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Wallahu a’lam bi ash showwab.