Oleh Widiawati, S.Pd
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Muslimah)
Tinggal menghitung hari, tahun akan berganti, kado spesial datang dari pemerintah untuk rakyat di awal tahun. Jika biasanya orang akan bahagia mendengar kata kado, maka lain halnya dengan ini, justru kado yang mereka terima kali ini menimbulkan kekecewaan sebab semakin membuat kantong rakyat jebol, akibat wacana tarif listrik tahun mendatang.
Memasuki awal tahun 2022 wacana pemerintah menaikkan harga tarif listrik PLN. Saat ini pemerintah sedang mengkaji kenaikan tarif listrik golongan tertentu, bagi pelanggan bakal mengeluarkan biaya tambahan pada tahun mendatang.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut jika kondisi pandemi covid-19 membaik maka kemungkinan besar tarif adjusment akan di terapkan kembali sesuai aturan awal pada 2022 mendatang.
Sebanyak 13 golongan pelanggan listrik non-subsidi perlu bersiap dengan kenaikan tarif mulai tahun depan. Menanggapi hal tersebut Pengurus harian yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto mengatakan rencana mengenai tarif adjusment ini memang sudah lama di dengungkan, “ adjusment atau penyesuaian tarif ini biasanya di pengaruhi oleh tiga faktor yaitu kurs dolar, inflasi, dan juga harga minyak dunia.” ( Tribun, Jumat, 12/12/2021)
Sudah lazimnya setiap pergantian tahun selalu saja pemerintah menetapkan peraturan baru pada setiap sektor-sektor yang urgen bagi masyarakat, seperti yang terjadi pada fakta di atas wacana pemerintah menetapkan tarif listrik. Dengan bermacam dalih mereka gunakan untuk memuluskan jalannya wacana tersebut.
Tentu wacana ini patut di pertanyakan, demi kepentingan siapa tarif listrik naik?, bagaimana dengan nasib rakyat di tengah kondisi ekonomi yang semakin lesu, selain itu terpaan badai pandemi masih cukup terasa, serta berhasil membuat masyarakat semakin terpuruk dalam segala hal terkhusus ekonomi.
Inilah akibat jika penguasa hanya sebagai regulator bukan sebagai periayah, standarnya pun jelas untung dan rugi. Pemerintah layaknya sebagai pedagang sementara rakyat sebagai konsumen. Listrik yang merupakan kebutuhan rakyat harusnya di dapatkan dengan murah atau bahkan gratis malah dijadikan komoditas dagang yang menghasilkan cuan, tanpa melihat kondisi masyarakat apakah mereka mampu atau tidak dengan penetapan harga yang setiap tahun naik.
Semua ini tidak hadir dengan sendirinya, sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini menjadi sumber masalahnya, segala komoditi di nilai dengan keuntungan. Memberi peluang kepada para kapital mengisi kantong-kantong mereka dengan penguasaan atau pengelolaan kepemilikan umum yang notabene adalah hak rakyat.
Liberalisasi pada sumber daya alam Inilah berpengaruh pada penentuan tarif listrik salah satunya di Indonesia hampir semua sektor di kelola oleh swasta maupun asing. Pengelolaan listrik melalui PLN yang notabene adalah milik BUMN seharusnya memberi keringanan kepada rakyat tapi nyatanya tidak demikian, sebab posisi BUMN di posisikan sama statusnya dengan investor asing. Bahkan kiprahnya kurang berpengaruh dalam mengelola sektor pertambangan, sehingga hampir semua sektor pertambangan dikuasai swasta meski mereka membayar pajak sebagai pemasukan negara, tapi sayangnya pajak mereka serahkan kepada negara hanya sebagian kecil dari keuntungan yang mereka dapatkan berkali lipat ketika harga pasar global naik.
Jika demikian jelas bahwa sistem kapitalis neolib tidak akan mampu mengatasi permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Alih-alih meringankan yang ada justru semakin memberatkan.
Jauh berbeda dengan Islam, listrik adalah bagian pokok yang wajib di penuhi oleh negara untuk rakyat secara gratis. Pengelolaan Sumber daya alam secara langsung oleh negara, tidak memberi celah bagi swasta maupun asing untuk ikut andil dalam pengelolaan. Sehingga dengan demikian kebutuhan rakyat dapat terpenuhi.
Kepemilikan umum di dalam Islam sudah jelas yaitu fasilitas umum yang merupakan hajat hidup vital bagi masyarakat seperti air (laut beserta isinya), api (tambang yang menghasilkan api), dan padang rumput (hutan) juga alat dan infrastruktur untuk pemanfaatan ketiga hal tersebut. Seperti alat pengeboran air, saluran air dan pembangkit listrik.
Untuk hasil pengelolaan kepemilikan umum tersebut menjadi pemasukan negara, dan hasilnya akan di kembalikan untuk membiayai kemaslahatan rakyat. Selain itu pemasukan Baitul mal juga bersumber dari fai, jizyah dan kharaj serta penerimaan sedekah atau zakat. Semua ini akan di distribusikan untuk kemaslahatan rakyat baik untuk memenuhi sandang, pangan dan papan.
Maka dari sini jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh negara secara langsung mampu menyejahterakan rakyat sebab hasilnya bisa di nikmati langsung. Berbeda dengan sistem yang ada saat ini dimana pengelolaannya diserahkan kepada pihak asing atau swasta sehingga rakyat bukan menikmati hasil justru merasakan tekanan ekonomi karena menjadi konsumen dan sasaran dagang para kapital yang tamak. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang sohih yaitu Islam Kaffah.
Wallahu a’alam bish-shawab