Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd.
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Sebuah berita di website pemerintah setempat menarik perhatian penulis. Di situ disampaikan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berkomitmen dalam peningkatan pemberdayaan perempuan berbasis masyarakat, terkhusus kepada para perempuan kepala keluarga (PEKKA) melalui program Keseteraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan sebagai bentuk pelaksanaan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita menyampaikan saat Malam Ramah Tamah sekaligus Pembuka Rakorda PPPA Kaltim 2024, pemberdayaan perempuan dalam wirausaha berdampak positif terhadap keluarga, masyarakat, dan ekonomi secara keseluruhan.
Senada, Sekretaris Kabupaten PPU Tohir juga menambahkan persoalan ekonomi masyarakat yang kompleks salah satunya juga dimungkinkan karena kondisi seperti ketimpangan dan belum setaranya peluang bagi seluruh gender. Kemudian, diikuti pula dengan masalah sosial, kesehatan, dan lingkungan. “Harapannya, melalui Rakorda ini dapat dirumuskan langkah-langkah yang tepat berkaitan dengan isu saat ini yaitu berkaitan dengan peningkatan kapasitas dan pemberdayaan perempuan” timpalnya.
Adapun kegiatan Rakorda ini diikuti oleh puluhan peserta yang terdiri dari Kepala Dinas PPPA Kabupaten/Kota, Instansi Vertikal di Kalimantan Timur, Perangkat Daerah terkait, dan Pejabat Struktural dan Fungsional DKP3A Provinsi Kaltim. https://diskominfo.kaltimprov.go.id/berita/kaltim-komitmen-tingkatkan-kapasitas-perempuan-kepala-keluarga
Penulis sendiri statusnya orang tua tunggal dengan 2 anak. Suami kembali ke sisi Allah Taala belasan tahun yang lalu yang artinya penulis juga merupakan kepala keluarga. Dalam menafkahi keluarga, penulis bekerja di sektor swasta. Tanpa berniat sama sekali mengecilkan upaya pemerintah yang ada, layak kiranya penulis sebagai kepala keluarga dan juga bagian dari masyarakat menyampaikan pendapat mengenai perihal tersebut.
Selama belasan tahun menjadi kepala keluarga, penulis mengalami dan merasakan, sangatlah sulit mendapatkan semuanya sekaligus, karier, keluarga dan kebahagiaan diri. Ditambah lagi karena kekurang pahaman sebagian keluarga dan masyarakat akan ajaran agama (baca : Islam), sehingga acapkali penulis dilihat kurang tekun menambah rezeki karena masih kekurangan dalam mencukupi kebutuhan keluarga.
Islam sebagai agama yang dianut penulis dan sebagian besar masyarakat negeri ini, dengan jelas mengatur dalam hal-hal mana perempuan sama dengan laki-laki dan dalam hal mana perempuan berbeda dengan laki-laki. Perkara tersebut dikembalikan kepada fitrah penciptaan masing-masing, baik secara biologis, fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Allah SWT membedakan peran laki-laki (kewajibannya sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah) dan perempuan (kewajibannya menjadi ummu wa rabbatul bait). Namun sebagai bagian dari masyarakat, mereka sama-sama berkewajiban melakukan amar makruf nahi munkar.
Tidak ada larangan perempuan untuk bekerja dan berkarier dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda : “Allah telah mengijinkan bagi kalian (kaum perempuan) untuk keluar memenuhi kebutuhan kalian.” (HR. Bukhari). Namun, bukan juga berarti mereka didorong atau dipaksa, baik dengan tekanan sosial maupun tekanan ekonomi demi memenuhi kebutuhan mereka sendiri atau keluarga mereka, sehingga menganulir tugas utama mereka untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka menjadi penerus pembangun peradaban mulia.
Negara lah yang wajib menjamin kesejahteraan setiap perempuan yang tidak memiliki kerabat laki-laki yang mencukupi kebutuhannya, atau kepada laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah dirinya dan keluarganya. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk keluarganya. Dan barangsiapa mati meninggalkan utang atau tanggungan, maka itu tanggung jawabku.” (HR. Muslim dari Jabir). Kata ‘tanggung jawabku’ dalam Hadits ini mempunyai implikasi Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan atau penguasa kala itu.
Ide PUG sendiri bukanlah ide yang berasal dari Islam, tetapi merupakan buah dari sistem sekuler, sistem yang tidak pernah menjadikan ajaran agama (baca : Islam) sebagai rujukan. Sistem yang memandang bahwa keadilan bagi perempuan hanya bisa dicapai dengan meyerupakan kodrat perempuan sebagaimana laki-laki baik secara biologis, fisiologis, psikologis dan sosiologis. Walhasil perempuan dipandang berprestasi dan berdaya kala mampu menghasilkan cuan.
Jelaslah cara pandang sistem rusak ini tidak manusiawi karena sememangnya Islam telah mendudukkan perempuan dan laki-laki sesuai kodratnya masing-masing. Ketidakadilan atas perempuan bukanlah disebabkan ketidaksetaraan gender, melainkan karena ditinggalkannya hukum-hukum Allah SWT dalam mengatur setiap sendi kehidupan manusia. Makna keadilan pun didasarkan pada akal manusia yang serba lemah, terbatas dan diliputi hawa nafsu.
Maka ide PUG bukanlah solusi atas ketidakadilan bagi perempuan, karena sangatlah absurd keadilan dilihat dari penyamaan perempuan dan laki-laki dalam semua hal. Penerapan sistem sekuler lah yang merupakan biang keladi atas ketidakadilan bagi perempuan.
Hanya Islam yang mampu memberikan keadilan bagi perempuan. Rasulullah SAW bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita. “ (HR. Muslim : 3729). Islam tidak hanya menjamin hak-hak perempuan, tetapi juga menjaga mereka dari segala hal yang dapat menodai kehormatannya, menjatuhkan wibawa dan merendahkan martabatnya. Atas dasar inilah kemudian aturan ditetapkan oleh Allah SWT agar kaum perempuan dapat menjalankan peran strategisnya sebagai pendidik umat generasi mendatang.
Sistem sekuler tidak akan pernah memberi keadilan hakiki kepada perempuan. Ia memberi tak lebih dari keadilan semu. Keadilan bagi perempuan akan tercapai apabila perempuan diposisikan sebagaimana fitrah penciptaannya menurut Islam. Wallahu’alam.