Oleh : Mutia Puspa Ningrum (Pegiat literasi)
Tagar #savenoviawidyasari ramai bergulir di berbagai media sosial beberapa waktu lalu. Berita tentang seorang mahasiswi yang melakukan bunuh diri dengan menenggak racun ini menjadi perhatian banyak pihak. Bukan hanya karena menyeret oknum kepolisian tapi juga karena korban diduga mengalami depresi karena dua kali dipaksa aborsi oleh sang kekasih (detik.com 5/12/2021).
Oknum dibalik aksi bunuh diri Novia adalah kekasihnya yang merupakan anggota Polres Pasuruan, Bripda Randy Bagus. Keduanya menjalin hubungan sejak Oktober 2019 dan kerap melakukan hubungan suami istri. Selama masa pacaran ternyata Novia dua kali dihamili Randy. Bukannya menikahi Novia, Randy justru memaksa aborsi menggunakan obat pada Maret 2020 dan Agustus 2021 (detik.com 10/12/2021). Akhirnya Randy dijerat dengan Pasal 348 KUHP juncto 55 KUHP, yaitu sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara dan diberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota Polri (pikiran-rakyat.com 6/12/2021).
Perilaku seks bebas dan tindakan aborsi ini hanya satu fakta kehidupan yang berada di puncak gunung es. Kejadian serupa yang tidak terekspose media tentunya jauh lebih banyak. Dengan berbagai pertimbangan dan kepentingan, maka kisah kelam ini akan tetap terkubur dalam ingatan masing-masing sampai dibawa mati.
Betapa miris hati mendengar berita tentang maraknya pergaulan bebas. Perzinahan, aborsi, perselingkuhan dan prostitusi. Salah satunya dilansir dari makassar.tribunnews.com (29/11/2021), kasus prostitusi anak di Makassar kian marak. Dalam razia yang dilakukan oleh Dinsos terjaring PSK yang berusia 12 dan 15 tahun. Dari hasil interogasi mereka mengatakan dipekerjakan oleh mucikari laki-laki yang berusia 15 tahun juga.
Sungguh sangat memprihatinkan di saat teman seusianya menikmati masa sekolah, mereka sudah terjerat dalam pusaran seks bebas dan perzinaan. Lebih parahnya lagi, sebagian masyarakat dan generasi muda menganggap hal ini adalah hal yang biasa atau lumrah. Mereka hanya menyoroti perihal “pemaksaan” atau “tidak dengan persetujuan korban” seperti dalam kasus Novia. Sehingga ramai cuitan tentang kasus tersebut. Lain halnya dengan kasus prostitusi anak di Makasar tadi. Karena dianggap tidak ada paksaan maka respon netizen pun hanya biasa saja. Padahal zina itu sendiri adalah perbuatan yang menjijikan. Namun saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme dimana nilai-nilai liberalisme sangat diagungkan. Nilai-nilai ini telah merusak tatanan kehidupan, termasuk tata pergaulan manusia.
Kebebasan berperilaku menjadikan manusia beranggapan bahwa pemuasan hasrat seksual tanpa aturan adalah hak. Bagi mereka tidak masalah melakukan zina asal suka sama suka dan tidak ada paksaan. Begitupun dengan tindakan aborsi. Dengan dalih hak asasi manusia, maka melakukan tindakan aborsi adalah sesuatu yang dianggap biasa. Lagi-lagi jika dilakukan “tanpa paksaan” atau “dengan persetujuan korban”. Semua itu akibat penerapan ideologi kapitalisme liberal.
Sistem ini mempersolek kemaksiatan sehingga terkesan menjadi sesuatu yang biasa. Maka kita akan dapati bagaimana ketika hamil akibat pergaulan bebas dikatakan hubungan diluar nikah, hubungan tidak sehat, atau pergaulan tidak sehat. Tidak dikatakan sebagai pezina. Begitu pula mereka yang melacurkan diri, apapun alasannya adalah perbuatan tercela, tetapi malah disebut PSK atau pekerja seks komersial. Hal ini semakin diperparah dengan media sosial serta film atau tayangan yang kerap menampilkan adegan-adegan yang vulgar. Inilah fakta yang terjadi didepan mata dan semua ini dikarenakan kita hidup dalam sistem kapitalisme yang sangat mengagungkan kebebasan dan asas manfaat. Apapun boleh dilakukan asal saling menguntungkan atau memberi manfaat. Termasuk dalam perzinaan.
Maka jelas sistem ini menjauhkan manusia dari status bertaqwa. Sedikit demi sedikit menghilangkan ketakutan manusia pada Sang Pencipta. Masyarakat dalam ideologi ini pun dibuat abai, menganggap sebuah kemaksiatan adalah sesuatu yang lumrah. Mereka tak khawatir lagi ditimpa azab oleh Allah SWT. Dan penguasa dalam sistem ini pun lebih sibuk mengurusi pertanggungjawabannya kepada para pemilik modal ketimbang pertanggungjawabannya di hari penghisaban kelak.
Ini adalah akibat jika manusia berpaling dari aturan Sang Khaliq. Padahal Allah SWT telah menurunkan seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna sebagai solusi dari seluruh problematika manusia. Ya, itulah islam. Sebuah ideologi yang aturannya lengkap dalam aspek preventif maupun solutif. Islam membolehkan penyaluran hasrat seksual dengan aturan yang memanusiakan manusia. Tidak melarangnya dan tidak juga membebaskannya. Aspek solutif pun menyentuh akar masalah perzinaan ini. Dalam islam, pelaku zina yg belum menikah dikenai hukuman cambuk 100 kali di depan khalayak ramai agar menjadi efek jera dan menghapus dosa pelaku di akhirat kelak.
Dalam sistem islam, manusia didorong untuk menjadi individu yang bertaqwa dan ini adalah
Pilar pertama yang menjadi pertahanan dalam menolak kemaksiatan. Jangankan berzina, mendekatinya pun mereka sudah takut. Karena individu yang bertaqwa senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT.
Pilar yang kedua adalah masyarakat yang peduli, beramar ma’ruf nahi munkar, dan tidak cuek ketika melihat kemaksiatan terjadi disekitarnya. Masyarakat yang menyadari bahwa mereka akan terkena azab dari Allah SWT jika kemaksiatan merajalela di lingkungannya adalah pertahanan dalam menolak kemaksiatan.
Pilar yang ketiga adalah negara yang menerapkan syariah islam. Penguasa dalam islam hanya takut kepada Allah SWT. Mereka melaksanakan amanah kepemimpinan dengan menerapkan syariat sematamata karena meyakini bahwa Allah SWT bukan hanya Maha Pencipta, tapi juga Maha Pengatur (Al Mudabbir).
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fâhisyah) dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32).