Opini  

Mewaspadai Keran Investasi Pembangunan IKN

Oleh: Novita Ekawati

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan titik nol dan Istana  di ibu kota baru akan berada di Penajam Paser Utara. Kepastian disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat berkunjung ke titik nol pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dan titik lokasi Istana Negara pada Senin, (12/4). (https://www.cnnindonesia.com/)

Pembangunan fisik pada tahap awal atau soft groundbreaking di KIPP akan dilakukan setelah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara yang telah tercantum di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. IKN baru akan segera diwujudkan.

Persiapan pemindahan IKN telah tercakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, meliputi pembangunan fasilitas penyelenggaraan pemerintahan di IKN yang baru serta aktivitas pembangkit kegiatan ekonomi bagi IKN dan sekitarnya. Persiapan itu telah disesuaikan dengan program vaksinasi nasional yang dilakukan secara bertahap, dengan target 181.550.000 jiwa untuk mencapai herd immunity. Pembangunan tersebut juga dirancang sebagai salah satu strategi pemulihan ekonomi nasional usai pandemi.

Jeratan Investasi ala Kapitalisme
Persoalan pemindahkan ibu kota bukanlah pekerjaan ringan. Bukan hanya masalah membangun bangunan fisik. Banyak aspek teknis lain seperti layanan pemerintah selama masa transisi, maupun nonteknis seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang perlu dipertimbangkan. Bukan hanya semata-mata untuk bagi-bagi proyek pada oligarki.

Baca juga  Pindah IKN, Solusikah Untuk Pemerataan Ekonomi dan Pembangunan ?

Salah satu opsi untuk mempercepat pemulihan ekonomi rakyat adalah dengan menyelenggarakan segera proyek pembangunan ibukota baru. Pembangunan IKN rencananya dilakukan dengan proses  build-lease/build-lease-transfer. Mekanisme “build lease and transfer” merupakan bentuk perjanjian kerja sama antara pemerintah dan swasta, dimana swasta diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berinvestasi. Misal dalam pengerjaan sarana perumahan dan perkantoran Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan.

Swasta akan membangun proyek infrastruktur termasuk menanggung pembiayaannya. Setelah pembangunan proyek selesai, fasilitas tersebut disewakan kepada pemerintah dalam bentuk sewa sesuai jangka waktu yang disepakati. Pada akhir perjanjian kerja sama, fasilitas infrastruktur tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah.

Swasta akan membangun proyek infrastruktur termasuk menanggung pembiayaannya. Setelah pembangunan proyek selesai, fasilitas tersebut disewakan kepada pemerintah dalam bentuk sewa sesuai jangka waktu yang disepakati. Pada akhir perjanjian kerja sama, fasilitas infrastruktur tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah.

Masuknya investasi membantu pemerintah dalam menghemat pengeluaran APBN, karena tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran besar langsung ratusan triliun, tetapi cukup menyewa rumah dan kantor yang dibangun investor swasta tersebut dengan alokasi bayar cicil tahunan.

Ajakan investasi yang dibalut kata ‘kerja sama’ tentu saja disambut baik oleh para investor asing, yang faktanya mayoritas menerapkan sistem ekonomi kapitalisme sekuler. Ajakan kepada para investor asing –yang notabene adalah negara kapitalis sekuler– untuk menggerakkan roda perekonomian negeri ini, apalagi berkaitan dengan bidang yang strategis dan sangat vital sebagaimana terkait pembangunan ibu kota negara, justru sangat membahayakan karena menjadikan jalan bagi para negara kapitalis untuk semakin mudah menjajah dan menguasai negeri ini.

Baca juga  Larangan Ekspor CPO, Benarkah Merugikan Petani Sawit?

Kemandirian Negara dalam Perspektif Islam
Aturan Islam mengharuskan sebuah negara mandiri dalam mengelola negaranya sendiri dan tidak menyerahkannya kepada negara lain, karena utang luar negeri dan investasi sesungguhnya merupakan bagian dari bentuk penjajahan gaya baru yang dilancarkan oleh negara kafir terhadap negeri-negeri muslim. Tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalisme. Investasi yang disepakati oleh dua negara tentu akan menuntut imbalan yang menguntungkan. Sayangnya, keuntungan bukan berpihak pada negeri ini.

Bagaimana bisa menguntungkan, jika kekuatan politik dan kemandirian negeri ini telah tergadai oleh utang luar negeri yang menggunung? Mengemis-ngemis agar asing datang berinvestasi sejatinya menunjukkan, betapa lemahnya negeri kaya raya ini. Padahal negeri kita dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa banyaknya. Tetapi sayangnya rakyat tidak bisa ikut menikmatinya.

Inilah yang terjadi jika paham kapitalisme sekuler yang dipakai dalam mengurus negara ini. Paham yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam sistem ekonomi ini peran negara dikurangi, negara hanya berfungsi sebagai regulator
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 141)

Sudah saatnya negeri ini bangkit, mengelola negerinya sendiri, mengelola SDA yang melimpah ruah oleh tenaga ahli yang dimilikinya. Sehingga menjadi negeri yang mandiri, tidak bergantung kepada negeri kafir penjajah.

Baca juga  Penembakan Massal di AS, Tanda Masyarakat Sakit

Hanya saja memang merupakan suatu hal yang mustahil, jika memutus investasi asing tapi tetap berkubang dalam sistem kapitalisme seluler. Sebab kapitalisme yang meracuni pengaturan politik dan ekonomi negeri ini, menjadikannya sangat liberal, yang justru mewujudkan neoliberalisme dan neoimperialisme di negeri yang harusnya merdeka ini.

Satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar terbebas dari dominasi asing adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kafah. Karena hanya sistem Islamlah yang akan mampu mewujudkan kemandirian politik dan ekonomi bangsa.

Mengelola ekonomi secara syariah, pemasukan negara akan diperoleh melalui tata cara sesuai syariat. Pengelolaan SDA yang dimiliki secara mandiri juga akan sesuai dengan ketetuan syara’ , sehingga mampu menutup kebutuhan negara yang besar, tanpa harus bergantung dengan investasi asing. Hal ini akan menjauhkan negeri ini dari jebakan perjanjian asing yang merugikan dan bertentangan dengan syariat Islam.

Wallahu a’lam bisshawab. (*)