

Oleh : Apt. Siti Jubaidah., M.Pd
(Pendidik dan Tenaga Kesehatan)
Bencana yang terjadi di India tampaknya menjadi skenario terburuk yang ditakuti banyak orang dari pandemi Covid-19. Negara berpenduduk 1,4 miliar itu tenggelam di bawah beban infeksi, dengan warga tidak dapat menemukan tempat tidur yang memadai di rumah sakit. Sementara akses tes Covid-19, obat-obatan atau oksigen sangat sulit. Dilansir dari Kompas.com(24/4/21).
India mencatat satu hari dengan kasus baru Covid-19 lebih dari 300.000 dan 2.771 kematian baru pada Selasa (27/4/2021). Namun, para ahli kesehatan yakin jumlah korban resmi jauh lebih tinggi karena negara bagian padat penduduk, seperti Uttar Pradesh dan Gujarat dituduh kurang menghitung kematian dan kasus Covid-19.Kompas.com (28/4/21).
Penyebab dari lonjakan dahsyat covid 19 dikarenakan pemerintah India memutuskan untuk melakukan pelonggaran dengan tidak membatalkan festival atau acara keagamaan sebelum gelombang penularan terjadi, satu varian baru virus corona yang ditemukan beredar di India, B.1.617 yang memiliki dua mutasi, dianggap lebih menular, rendahnya tingkat vaksinasi, padatnya penduduk dan banyaknya mobilitas serta kemiskinan di India.
Gelombang tsunami covid di india harusnya menjadi pelajaran dunia, lebih dari dua tahun masalah ini belum terselesaikan dan justru menjadi gelombang dahsyat dengan banyaknya alasan dari kesadaran masyarakat yang longgar untuk mentaati 3 dan sampai 5M dan lebih lagi kebijakan pemerintah yang basa-basi menyelesaikannya. Banyaknya kebijakan yang mendua yang seolah mengatasi virus dengan seiring perbaikan keterpurukan ekonomi dunia, termasuk Indonesia bukan dimulai saat pandemi melanda. Jauh sebelum ada pandemi, sistem ekonomi kapitalisme yang menguasai dunia hari ini mempunyai cacat bawaan yang akan mengalami krisis berulang dan keduanya tidak teratasi dengan segera.
Ekonomi Indonesia sesungguhnya sudah colaps sebelum pandemi ini ada, karena yang digunakan ekonomi ribawi menggantungkan hutang dengan bunga fantastis, padahal melimpah kekayaan alamnya kini menggantungkan hanya pada sektor pariwisata untuk bangun dari keterpurukan ekonomi. Dari contoh kebijakan mudik dilarang dan dibukanya sektor wisata dengan alasan prokes ketat, dan apakah ini bisa jadi solusi? Inilah potret negara yang diatur kapitalis untuk mencari keuntungan dengan mengorbankan nyawa rakyat.
Lebih miris lagi dana bantuan sosial dihentikan sementara dan triliunan dana yang akan digelontorkan kepada para pelaku ekonomi kreatif, mulai dari biro perjalanan hingga pramuwisata, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih dominan menjadi perhatian pemerintah dibandingkan keselamatan rakyat. Maka, jelas sudah ke mana arah kebijakan rezim atasi pandemi. Bukan semata untuk kepentingan hidup rakyat, melainkan kepentingan hidup ekonomi kapitalis neoliberal. Alih-alih menyelamatkan nyawa rakyat, rakyat akan terus menjadi pihak yang kalah.
Sistem Islam Penjaga Nyawa Manusia
Masihkah kita berharap dengan penguasa yang mementingkan keuntungan ekonomi daripada nyawa manusia? Di tengah krisis, para kapitalis masih berebut untung besar dari rakyat. Baik penjualan obat coronavarius, alat kesehatan, telekomonikasi, asuransi, pariwisata, hingga infrastruktur.
Jauh berbeda dengan penanganan sistem Islam, nyawa manusia menjadi sesuatu yang diutamakan. amanah kekuasaan yang diberikan rakyat, maka pemimpinnya akan bersungguh-sungguh untuk menunaikan kewajibannya mengurus umat juga menjaga mereka. Dimana semua rakyat muslim maupun non muslim terlindungi. Khalifah memahami hadis Rasulullah Saw.,” Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan hak dan menunaikan amanah yang menjadi kewajibannya.” (HR Muslim)
Apalagi neraka sebagai tempat kembali bagi penguasa yang menipu rakyatnya. Ancaman tersebut jelas disampaikan Rasulullah Saw. dalam hadis, “ Siapa pun yang diangkat memegang tampuk kepemipinan atas rakyat, lalu dia menipu mereka, maka dia masuk neraka.” (HR Ahmad)
Dalam Islam, menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia, sebagaimana sabda Rasul Saw., “ Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Menjadi penjelas bagi kita, selama Islam tidak menaungi dunia, urusan nyawa manusia tak bernilai sama sekali bagi negara. Menjadi hal lumrah jika semua negara hari ini tak ada satu pun yang berhasil tangani pandemi, karena masih setia menjalankan ekonomi kapitalis neoliberal. Wallahu’alam Bishowab