Oleh: Siti Jubaidah
Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) mewabah mengundang perhatian banyak pihak. Pengaruhnya sampai ke daerah-daerah lain. Di Samarinda pun direncanakan akan dilakukan kegiatan yang serupa meski urung dilakukan. Kota-kota lain pun melakukannya. Dianggap oleh remaja sebagai kegiatan yang baik tapi sebenarnya menunjukkan betapa rusaknya generasi hari ini.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dadang Kahmad merespon dengan meminta pemerintah untuk mengantisipasi dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari tren baru CFW. Aspek negatif seperti pamer perilaku LGBT hingga pergaulan bebas, kemacetan lalu lintas dan penyebaran penyakit harus diminimalkan. (Republika.com)
CFW yang menjadi tren ini bila terus didukung, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan ABG putus sekolah dan ABG milenial yang krisis identitas. Akhirnya, mereka terlena dengan dunia yang memberi racun “fun, fashion, music”. Mereka hanya memikirkan mudahnya mendulang materi dan juga tidak akan memikirkan masalah bangsa ini, misalnya, SDA yang banyak dikuasai asing, utang negara yang makin membengkak, BBM yang makin mahal dan langka, harga kebutuhan pokok naik dan sebagainya.
Generasi Rusak Terbajak Potensinya oleh Sekulerisme
CFW adalah sekelumit potret perusakan generasi dan pembajakan potensi anak semakin masif saat ini. Dengan alasan tren mode dan ekonomi kreatif anak muda, juga agar bisa melepas lelah setelah 5 hari belajar, CFW dianggap aktifitas yang menyalurkan potensi anak muda. Inilah bukti generasi muda yang krisis identitas. Bagaimana mungkin anak muda lebih suka putus sekolah demi mencari uang untuk membantu keluarga, tidur di jalanan dan tidak pulang ke rumah, mementingkan tren mode dalam pergaulan, lebih suka mencari uang dengan cara mudah tanpa peduli mengumbar aurat, bahkan terjebak pacaran dan pergaulan bebas (LGBT).
Di sisi lain anak kerap menjadi korban kekerasan seksual, korban dari kerapuhan institusi keluarga, hingga tindak kriminalitas seperti mencuri, tawuran, merokok hingga penyalahgunaan narkoba. Fenomena yang meperkelam potret kehidupan generasi di bawah sistem sekulerisme.
Sekularisme meniadakan agama dalam mengatur kehidupan. Akibatnya, generasi kehilangan jati diri, terbawa arus gaya hidup sekuler liberal. Maraknya kasus hanyalah efek samping sistem pendidikan sekuler.
Sebab pertama, sistem pendidikan sekuler tidak menjadikan kesalehan dan ketakwaan generasi (berdasarkan aqidah Islam) sebagai dasar utama ketika menyiapkan perangkat sistem dan kurikulum pendidikan. Sebaliknya, Kurikulum Merdeka dilaksanakan dalam membentuk profil Pelajar Pancasila. Setangguh apa profil Pelajar Pancasila mencegah perilaku amoral dan tabiat perundungan? Membentuk pribadi saleh dan takwa mestinya dilihat dari perspektif Islam, bukan mencampuradukkan dengan pemikiran Barat seperti moderasi agama. Krisis identitas terjadi karena kurikulum sekuler. Anak-anak membutuhkan penanaman akidah Islam yang kuat serta pengamalan aturan Islam dalam kehidupan mereka. Dengan akidah inilah anak tidak akan mudah terombang-ambing dengan budaya dan pemikiran asing yang bertentangan dengan Islam.
Kedua, tontonan menjadi tuntunan. Dengan satu gawai, anak bisa mendapat informasi dan tontonan yang tidak layak. Perundungan biasanya terjadi karena intimidasi teman sebaya. Dari mana mereka melakukan kekerasan yang terbilang kejam untuk anak di bawah umur? Semuanya bermula dari apa yang mereka tonton dan ikuti. Alhasil, apa yang mereka lihat menjadi tuntunan. Dari sinilah pengawasan orang tua bisa dibilang longgar. Penggunaan gawai yang kebablasan akhirnya membuat generasi mengakses informasi yang tidak seharusnya mereka terima di usia yang masih labil. Ditambah, jika orang tua bermasalah, anak cenderung melampiaskan emosi dan kekesalannya kepada temannya. Juga masyarakat yang tak peduli nasib generasi. Tak peduli konten sosmednya menebar kemaksiatan demi cuan.
Ketiga, lingkungan sekolah dan masyarakat adalah tempat paling mudah memengaruhi generas. Kehidupan sosial yang cenderung individualis, egois, dan apatis menjadikan anak kurang memiliki kepekaan sosial dan empati terhadap teman. Begitulah kapitalisme membentuk masyarakat sekuler kapitalistis.
Keempat, negara wajib bertanggung jawab dalam pembentukan jati diri dan profil generasi dan pengarahan potensinya. Negara wajib mengatur sitem pendidikan, sistem ekonomi, sistem sosial dan semua sistem kehidupan lainnya. Negara wajib menerapkan sistem kehidupan Islam kaffah yang mendorong semua pihak agar makin taat dan bertakwa kepada Allah SWT.
Semua Wajib Berperan Menyelamatkan Generasi
Mewujudkan generasi saleh dan bertakwa tidak bisa dengan hanya peran satu atau dua komponen saja. Fakta kerusakan sistem sekuler sudah terlalu akut. Negeri ini perlu merombak total sistem demi terwujudnya generasi cemerlang, cerdas ilmu, beriman dan bertakwa.
Di sisi lain, masyarakat berperan mendukung perkembangan anak dengan bekerja sama menciptakan sistem sosial yang sehat dan ramah anak. Islam mengajarkan bagaimana menjaga hak antara sesama muslim, tidak saling mengejek, saling menjaga hak, juga menumbuhkan karakter untuk saling membantu (ta’awun). Orang tua tentu berperan besar mengenalkan sistem sosial Islam kepada anak.
Dengan penerapan sistem Islam, perundungan dapat dihentikan karena Islam memiliki perlindungan berlapis, yakni akidah, syariah, dan sistem sanksinya. Walhasil, seorang pemimpin, terlebih pemimpin muslim, wajib mendidik generasi untuk peduli pada bangsanya, bukan malah mendukung aktivitas hura-hura. Sudah seharusnya mereka bersikap tegas dan menjadikan Islam sebagai standar penentu suatu aktivitas benar atau salah. Sementara itu, negara berkewajiban untuk mengadopsi berbagai kebijakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan mendasar rakyat dan memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka secara utuh dan menyeluruh, individu per individu.
Generasi kita sedang sakit maka perlu adanya kesehatan mental yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara di bidang pendidikan, ekonomi bukan ekonomi kreatif yg justru mencari kemanfaatan dari kegiatan nirakhlak tersebut, bidang sosial dan lain-lain. Sehingga penting bagi kita mewujudkan sebuah kehidupan baru yang keluar dari aturan sekuler kepada kehidupan Islam. Kehidupan Islam itu sendiri, lanjutnya, ketika semua pemahaman, nilai, dan hukum akan diedukasi. Bagaimana keluarga menyiapkan anak-anak mereka agar mampu memenuhi kebutuhan fisik dan psikisnya, kemudian juga masyarakat umum terkait penjagaan terhadap anak-anak dan generasi. Wallahu a’lam.[]