

Oleh : Hamzinah (Pemerhati Opini Medsos)
Awal tahun Indonesia dirundung duka, bencana dan musibah yang bertubi-tubi menambah derita dimasa pandemi. Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Perairan Kepulauan Seribu. Bencana tanah longsor terjadi di Desa Cihanjuang, Sumedang Jawa Barat. Bencana banjir melanda Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Maluku Utara, Kabupaten Cirebon dan Bogor Jawa Barat, Erupsi gunung Semeru, gunung Sinabung serta longsor di Manado dan gempa bumi di Sulawesi Barat. Innalilahi wa inna ilaihi raji’un.
BPBD Kalimantan Selatan merilis data harian hingga per tanggal 14 Januari 2021, tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak daro total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun. Khusus untuk bangunan rumah warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit. Akumulasi jumlah warga terdampak banjir didominasi dari , Kabupaten Tanah Laut sebanyak 34.431 jiwa, disusul Kabupaten Banjar sebanyak 25.601 jiwa. Sedangkan sisanya berasal dari Kota Banjar Baru, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Tapin dan sekitarnya. (suara.com).
Staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menyatakan “Iya, lebih parah dari tahun 2020 kemarin, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung. Kendati demikian, masifnya pembukaan lahan secara terus menerus. Fakta ini dapat dilihat dari beben izin konsesi hingga 50% dikuasai tambang dan sawit” ujarnya. (Kompas.com).
Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batubara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kepala sawit yang mengurangi daya serap tanah. Kepala Pusat Pemanfaatan Pengindraan Jauh di Lapan, Rokhlis Khomarudin menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare. Sebaliknya, area perkebunan meluas cukup signifikan 219.000 hektare. (BBCIndonesia).
Banjir memang menjadi permasalahan klasik di negeri ini ketika musim penghujan tiba. Banjir yang merendam ribuan rumah ini pun agaknya belum menemui solusi yang tepat, sesungguhnya bencana banjir membutuhkan perhatian khusus dalam menanggulanginya. Apalagi bencana banjir yang melanda dikarenakan faktor ekologis.
Akibat Kapitalisme
Bencana alam yang melanda bukan sekedar soal musibah atau takdir, tetapi ada andil manusia di dalamnya. Kapitalisme dengan liberisasinya yang mengutamakan kepentingan segelintir pemodal telah nyata menjadikan mereka bebas mengekploitasi sumber daya alam demi keuntungan tanpa memperdulikan syarat keseimbangan lingkungan. Karena yang paling penting bagi mereka adalah sebanyak-banyaknya produksi tanpa memperdulikan apakah hal itu akan berdampak negatif bagi masa depan lingkungan dan alam.
Kapitalisme dengan sekulerismenya pun menawarkan solusi yang tidak bisa menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Sehingga banjir selalu menjadi momok di negeri ini setiap musim penghujan, tanpa adanya penyikapan dari pemangku kebijakan yang berdampak signifikan. Bencana alam akibat kerusakan ekologis adalah buah busuk yang mengiringi pembangunan eksploitasi akibat sistem sekuler kapitalistik yang diterapkan saat ini.
Kapitalisme memang memiliki sifat bawaan merusak. Mau diperbaiki pun akan tetap membawa kerusakan dan kesengsaraan bagi alam, manusia, dan kehidupan. Kebijakannya hanya menguntungkan koorporasi. Pelaksanaannya hanya bisa menyusahkan rakyat. Sudah saatnya kita mencampakkan sistem kapitalis sekuler dan beraih kepada sistem Islam, yaitu sistem yang berasal dari Sang Pencipta.
Islam Memberikan Solusi Hakiki
Islam datang untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Solusi yang ditawarkan komprehensif. Menempatkan manusia sebagai sentral keseimbangan alam. Dalam mengelola lingkungan, Islam menjaga lingkungan dari aspek pemeliharaan hingga pengelolaannya. Islam mengatur kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara.
Hutan masuk dalam kepemilikan umum bukan kepemilikan individu atau negara. Dalam pengelolaannya hanya boleh dilakukan negara, tidak boleh ada pihak lain baik swasta maupun koorporasi asing yang berkecimpung dan hasilnya akan didistribusikan untuk kemaslahatan umat sesuai ketentuan syara’. Eksplorasi kekayaan alam tidak dilakukan sembarangan. Meski milik umum, masyarakat boleh mengambil manfaat sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bukan untuk dieksploitasi sekehendak hati.
Islam mendorong aktivitas tanah mati. Dengan pemberdayaan tanah mati, masyarakat bisa mengelolanya dengan menanaminya. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun.” (HR. Abu Yusuf). Negara Islam, yakni Khilafah akan melakukan penghijauan dan reboisasi. Dengan begitu fungsi hutan atau pohon tidak akan hilang.
Negara Islam akan memetakan, mengkaji dan menyesuaikan pembangunan infrastruktur dengan topografi dan karakter alam di wilayah tersebut. Negara akan memetakan negara mana yang pas untuk eksplorasi tambang, pertanian dan perkebunan tanpa mengabaikan AMDAL di dalamnya. Sebab, kekayaan alam ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan diperjualbelikan sebagaimana pandangan sistem kapitalis. Sudah saatnya kita berbenah dan beralih kepada sistem Islam melalui tegaknya syariat kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bi ash showwab.