

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Dunia akhir-akhir ini disibukkan dengan krisis energi akibat perubahan iklim, menteri keuangan Sri Mulyani berkali-kali mengatakan ini lebih buruk dampaknya dari Covid-19. Lantas apa yang dimaksud dengan krisis energi dan penyebabnya?
Krisis energi adalah kekurangan dalam persediaan sumber daya energi ke ekonomi. Krisis ini biasanya menunjuk ke kekurangan minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya. Krisis ini memiliki akibat pada ekonomi, dengan banyak resesi disebabkan oleh krisis energi dalam beberapa bentuk (Wikipedia).
Penyebab krisis energi menurut Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2016 Widhyawan Prawiraatmadja (sindonews.com,10/10/2021) adalah meningkatnya kebutuhan energi dalam masa pemulihan ekonomi dan kegiatan produksi. Namun peningkatan kebutuhan itu diikuti dengan keterbatasan pasokan dari Rusia sebagai salah satu pemasok utama bagi Eropa, juga karena adanya perubahan iklim ekstrim.
Diperparah dengan investasi infrastruktur penyimpanan (storage) gas yang terkendala dan terkendalanya produksi hydro dan wind-power. Kemudian China, pulihnya ekonomi di negara tirai bambu itu juga menyebabkan permintaan energi yang tinggi, dan telah membuat harga batu bara mencapai tingkat tertinggi. Hal ini diperparah adanya embargo supply batu bara dari Australia yang menyebabkan harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah, melebihi USD250 per ton di awal Oktober 2021 ini.
Masih menurut Whidyawan, di Eropa, aturan emisi CO2 yang semakin ketat juga menyebabkan harga karbon sangat tinggi sehingga berdampak langsung pada harga komoditas energi fosil, khususnya batu bara. Sementara kondisi ekonomi yang masih dipengaruhi oleh pandemi Covid-19, menyebabkan pent-up demand (merujuk pada kondisi dimana permintaan akan suatu produk atau layanan meningkat secara drastis dan cenderung tiba-tiba) dengan jangka pendek.
Lantas bagaimana dengan ketersediaan energi di Indonesia? Berkah atau bencana krisis energi hari ini bagi Indonesia? Bagaimana dengan Indonesia? Harga gas, minyak dan batu bara yang melambung mengakibatkan negara yang mengalami krisis ini berpeluang besar akan berpotensi mengalami stagflasi. Kondisi ini terjadi saat inflasi sedang tinggi, sementara kondisi ekonomi negara cenderung stagnan.
Dilansir dari jurnal Indonesian Perspective berjudul ‘Indonesia dalam Pusaran Politik Energi Global’, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya ayam yang sangat melimpah dan beragam. Terutama, minyak bumi, batu bara dan gas alam. Cadangan minyak yang ada di Indonesia berkisar di angka 9 miliar barel dan cadangan batu bara adalah 19, 3 miliar ton per tahun dengan kapasitas produksi 130 juta ton per tahunnya.
Fakta ini membuat Indonesia dipandang oleh negara-negara besar dan maju sebagai salah satu cadangan sumber energi, guna memenuhi kebutuhan energi mereka. Indonesia juga berpeluang untuk memiliki peran besar dalam politik energi global karena sudah mendapat perhatian dari negara industri yang maju. Dengan begitu, Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya alamnya untuk kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan negara.
Masih menurut jurnal Indonesian Perspective tersebut, tersedianya energi akan ikut mendorong pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan melalui industrialisasi. Hal ini secara langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Naiknya harga minyak dunia sepatutnya menjadi peluang tersendiri bagi Indonesia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih masif dari hasil penjualan sumber energi, utamanya minyak bumi (idxchannel.com, 25/10/2021).
Dilansir Okezone, Indonesia dengan segudang potensi sumber daya alamnya harus bisa menilik dan melihat peluang dari krisis energi dunia ini. Presiden Joko Widodo menyebut, negeri ini diuntungkan karena harga komoditas yang melambung. Adapun jenis komoditas yang harganya mengalami lonjakan cukup signifikan adalah batu bara, nikel, kelapa sawit dan tembaga. Dengan begini, Jokowi berharap kondisi ekonomi di daerah penghasil komoditas tersebut dapat ikut terdongkrak. Masyarakat juga merasakan kesejahteraan.
Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto juga mengatakan, ketahanan energi nasional dinilai masih dalam kondisi aman, bahkan Indonesia cenderung diuntungkan dengan kondisi tersebut. Dalam acara webinar “Krisis Energi Mulai Melanda Dunia, Bagaimana Strategi RI?” yang digelar IKA FH UNDIP, Minggu (10/10/2021), dia menyebut, Indonesia bahkan masih mengekspor batu bara sebesar 70% dari pasokan yang dimiliki, serta ekspor gas sebesar 38% dari pasokan nasional.
“Indeks Ketahanan Energi kita masih di angka 6,57 yang masih dalam kategori tahan, dari tingkat tertinggi sangat tahan di angka 8. Setiap tahunnya indeks ketahanan energi terus meningkat,” ujarnya. Selain energi fosil yang masih melimpah, Indonesia pun dianugerahi sumber energi baru terbarukan yang melimpah, seperti tenaga surya, panas bumi, air, angin, hingga gelombang laut.
Potensi panas bumi Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Hingga Desember 2020, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sumber daya panas bumi Indonesia mencapai sebesar 23.965,5 Mega Watt (MW) atau sekitar 24 Giga Watt (GW). Namun sayang, meski memiliki cadangan yang besar, sayangnya apa yang dimiliki Indonesia ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Sekretaris Eksekutif I Kementerian Koordinator Perekonomian Raden Pardede mengatakan, salah satu yang bisa dilakukan Indonesia adalah dengan meningkatkan produksi dan mempersiapkan kapasitas cadangan sumber daya energi nasional. Sebab, Industri minyak dan gas bumi masih menjadi komoditas utama menggerakkan perekonomian dunia.
Ia juga mengatakan salah satu kontributor krisis energi saat ini akibat mulai ditinggalkannya industri fosil oleh investor, bank, dan pasar modal karena mereka beralih ke energi hijau, sedangkan transisi energi justru belum siap. “Indonesia harus well-planned karena krisis energi yang terjadi bagian transisi yang kurang matang dilakukan dunia. Kita perlu belajar mumpung masih ada waktu dan belum terjadi krisis energi,” kata Raden Pardede dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu 23 Oktober 2021.
Jika memang ini merupakan keuntungan dan berkah bagi Indonesia, mengapa hingga hari ini rakyat Indonesia masih banyak yang tak sejahtera, bahkan dalam bahasan perubahan iklim, rasanya Indonesia juga tak aman, baru memasuki musim hujan belum pertengahan saja banjir bandang sudah bertandang di beberapa wilayah di Indonesia.
Hutan yang menjadi paru-paru dunia kebanggaan Indonesia kini sudah banyak yang gundul, berganti wajah dengan perkebunan kelapa sawit yang tak bisa mengikat air sebagaimana hutan lindung ataupun daerah rawa dan gambut. Siapakah pelakunya, apakah mungkin pengusaha lokal? Tentu bukan, sebab jika menyangkut modal tak ada pengusaha yang memiliki modal sedemikian besar hingga bisa mengantongi izin penguasa membuka lahan yang luas tak terkira.
Namun masih saja Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (menteri LKH), Siti Nurbaya Bakar berani mengatakan,”Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,”. Yang otomatis membuat pro kontra, terutama di kalangan pelindung kelestarian alam seperti Green peace dan lain-lain, pernyataan itu yang dinilai bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap lingkungan (kompas.com, 8/11/2021).
Butuh Pemimpin yang Bertakwa tak Sekadar Low Profile
Jika Indonesia memiliki peluang besar menghadapi kebutuhan dunia yang meningkat, semestinya tidak mengundang asing untuk mengelola SDA. Di sinilah peran penting negara yang menjadi mandiri baik di dalam dan luar negri.
Namun sayangnya hal itu tidak nampak pada pemerintahan kita, buktinya Presiden Jokowi ketika mengawali agenda kerjanya di Roma, Italia, pada Sabtu, 30 Oktober 2021 sekaligus mengadakan pertemuan bilateral bersama Perdana Menteri (PM) Australia, Scott Morrison. Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Splendide Royal tersebut, kedua pemimpin membahas tiga hal utama, mulai dari vaksinasi hingga isu perubahan iklim.
Presiden Jokowi ingin agar Indonesia-Australia dapat terus melakukan kerja sama pembangunan ekonomi hijau dan transisi energi. Menurut Presiden Jokowi, isu teknologi dengan harga terjangkau dan investasi memegang peran penting bagi keberhasilan transformasi ekonomi. “Oleh karena itu, saya sambut baik Joint Statement on Cooperation on the Green Economy and Energy Transition. Kerja sama yang termuat dalam joint statement ini sejalan dengan semangat presidensi G20 Indonesia di tahun 2022,” kata Jokowi sebagaimana dikutip di laman Sekretariat Presiden (sindonews.com,30/10/2021).
Jokowi ingin mendorong sejumlah kerja sama konkret di beberapa sektor utama yakni digital, transisi energi, dan inklusi keuangan. Di sektor digital, Presiden Jokowi ingin memastikan transisi digital yang inklusif bagi pertumbuhan dan pembangunan.
Di sektor transisi energi, G20 harus dapat memastikan ketersediaan teknologi rendah karbon dengan harga terjangkau sehingga transisi energi dapat dilakukan oleh semua negara. Sementara di sektor inklusi keuangan, secara khusus Presiden menekankan soal UMKM dan perempuan. “Saya harap dukungan kuat Australia bagi ketiga usulan Indonesia tersebut. Saya juga berharap untuk dapat menyambut Yang Mulia secara pribadi tahun depan saat KTT kami di Bali, tanggal 30-31 Oktober 2022,” tandasnya.
Tidak sadarkah penguasa hari ini bahwa setiap kerjasama yang disepakatinya adalah jebakan negara kapitalisnya yang kian hari akan kian mencekik? Pandangan Islam terhadap energi dan pengelolaannya, negaralah yang bertugas mengelola SDA dan SDMnya tidak dengan bekerjasama dengan asing, sebab asing yang berpandangan kapitalis akan menggunakan kerjasama ini sebagai jebakan untuk semakin mengawasi gerakan negara jajahannya.
Karena watak asli kapitalisme yang serakah, setelah mengekploitasi seluruh SDA di negeri-negeri Muslim, masih pula meninggalkannya dalam keadaan rusak dan masih menimpakan urusan perbaikan. Bak kerbau dicocol hidungnya, negara berkembang tak bisa banyak bergerak apalagi melawan, dengan sehelai perjanjian, habislah kedaulatan negeri.
Negara dengan sistem yang bertentangan dengan sistem kapitalis hari ini yaitu syariat Islam, yang sejarah menorehkannya dengan tinta emas yaitu Khilafah, tentu bukan bentuk negara ala kadarnya, namun berjalan sesuai Wahyu Ilahi. Maka, sebagai negara ula atau pemimpin , menangani krisis energi bukan semata-mata karena mengambil keuntungan, melainkan untuk kesejahteraan rakyatnya per individu.
Hal itu berkenaan dengan kepemilikan negara dan umum yang samasekali tak boleh diprivatisasi, sebab merupakan kebutuhan pokok. Yang jika tak terpenuhi atau ada halangan dalam mengaksesnya akan menimbulkan perselisihan. Negara akan mengelola SDA dengan teknologi terup to date, maka ini akan berkolerasi dengan sistem pendidikannya. Ekonomi, kesehatan dan keamanannya.
Penelitian akan diadakan secara terus menerus dalam rangka swadaya negeri, bahkan penggunaan teknologi nuklir untuk energi bersih akan digunakan tanpa ada menarik dari rakyat sepeserpun. Artinya penggunaan energi terbarukan dan bersih akan menjadi fokus namun bukan dengan bergantung pada negara asing bahkan kafir yang jelas-jelas memusuhi kaum Muslim. Wallahu a’lam bish showab.