

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Di tahun 90-an, kita pasti ingat ada grup vokal anak-anak, bernama Trio Kwek-Kwek memopulerkan lagu Lebaran. Salah satu liriknya, ” Baju baru, Alhamdulillah…tidak ada tak apa-apa masih ada baju yang lama..”. Dan cocok sekali dengan keadaan hari ini, dimana kehidupan setiap orang sulit dikarenakan pandemi Covid-19 belum juga teratasi. Sehingga setiap orang terpaksa harus lebih berhemat agar bisa merayakan hari raya Idul Fitri dengan tenang dan bahagia.
Apa pasal? Karena rakyat menghadapi kesulitan demi kesulitan selain ekonomi tentunya, mulai dari harga-harga barang pokok yang merangkak naik, biaya tinggi untuk listrik, kesehatan, pendidikan dan rasa aman. Ironisnya Sri Mulyani, menteri keuangan kita menyampaikan pernyataan yang tidak menunjukkan empati kepada penderitaan rakyat samasekali.
Dengan meminta masyarakat tetap menyambut Lebaran dengan penuh sukacita. Jangan lupa, kata dia, kegiatan belanja menjelang Lebaran seperti membeli baju baru harus tetap berjalan. Tujuannya agar kegiatan ekonomi tetap berjalan. Sri Mulyani menyampaikan ini saat memberikan keterangan pers APBN, Kamis , 22 April 2021.
“Ada bagusnya juga Lebaran tetap pakai baju baru, beli baju baru supaya walaupun Zoom nanti pakai baju baru sehingga muncul aktivitas di masyarakat bisa terjadi,” kata Sri Mulyani (wartaekonomi.co.id, 24)4/2021). Maka, pemerintah sudah menyiapkan program Hari Belanja Nasional (Harbolnas) jelang Idul Fitri dengan memberi subsidi ongkos kirim.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan, program Harbolnas akan bekerja sama dengan e-commerce untuk bisa mengirimkan barang sampai tujuan. Dengan begitu, acara berlebaran tak kehilangan makna meski tanpa mudik.
Jelas usulan ini menimbulkan tanggapan beragam, di antaranya seniman Sudjiwo Tedjo , “Setuju Bu Sri Mulyani. Tetap beli baju baru buat Lebaran tapi nggak boleh mudik. Ini bagus buat latihan tak pamer baju baru di kampung. Berbaju baru tapi hanya di kamar sendiri di rantau. Ini meditasi tingkat tinggi,” cuit @sudjiwotedjo.
Dorongan untuk menumbuhkan perekonomian semata, memunculkan penguasa-penguasa yang mati hati. Yang nampak di mata mereka bahwa kesejahteraan melulu hanya di dapat jika perekonomian tumbuh. Tak lagi menjadi perhitungan, bahwa rakyat terseok-seok memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, yang semestinya itu ada pada pundak negara.
Hal ini karena kapitalisme menjadi jiwa dari kepengurusan negara. Ideologi yang berasal dari sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan serta membebaskan manusia berkehendak sendiri mengatur hidupnya. Jauh dari aturan Ilahi, jumawa beranggapan mampu menyelesaikan seluruh persoalan hidup dengan tuntas tanpa menimbulkan masalah baru.
Akar persoalan adalah ketika negara tak berfungsi sebagaimana mestinya. Rasulullah Saw bersabda,” “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Pandemi yang berkepanjangan ini buktinya , alih-alih menangani pandemi malah kegiatan tahunan mudik, pulang kampung di Hari Raya malah dilarang.
Namun, di sisi lain pariwisata dibuka. Selain itu masih banyak kebijakan yang kontradiktif. Rakyat diberlakukan PSBB, namun Pilkada lanjut demikian pula TKA dari China dibiarkan melenggang. Berkerumun dilarang, namun pernikahan seorang pesohor negeri tak dipersoalkan. Rakyat diminta untuk berbelanja baju, namun yang dijamin hanya gratis ongkos kirim bingkisan ke kampung. Sebagai gantinya rakyat diminta berlebaran via zoom.
Lantas siapa yang menjamin kemudahan lapangan pekerjaan, berkurangnya PHK, murahnya pendidikan dan kesehatan? Maka, perlu diingat, bahwa makna Berlebaran tak sekadar membeli baju baru, namun sebagai bentuk manifestasi ketakwaan yang sudah terbangun selama satu bulan di bulan Ramadan hendaknya kita merubah aturan yang mengatur hidup kita dengan aturan yang berasal dari Allah, zat yang memerintahkan kita berpuasa dan yang kita taati.
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS Al- Baqarah 2:183). Ayat ini menjelaskan kepada kita satu-satunya alasan diwajibkannya puasa adalah agar kita bertakwa. Sebab selama satu bulan, ketika raga kita dilemahkan karena diharamkan makan dan minum di siang hari, kita mengalihkannya kepada ibadah-ibadah penguat iman, seperti tadarus, sedekah, mengkaji ilmu agama dan lainnya.
Hasil akhirnya sebenarnya adalah pribadi yang bertakwa, yang menyandarkan setiap perbuatannya kepada aturan Allah sebab dirinya dipenuhi kesadaran kedudukannya sebagai makhluk bagi sang Khalik. Kembali kepada syari’at Allah itulah yang sebetulnya urgen kita usahakan paling awal, agar Ramadan tak sekadar berlalu sebagai bulan menahan lapar dan haus belaka. Wallahu a’ lam