Opini  

Gerak Cepat Salah Kaprah

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)

Betapa memilukan berita yang beredar santer di media sosial. Firman, salah satu korban gempa bumi di Kabupaten Mamuju mengatakan, saat datang meminta bantuan di salah satu posko pemerintah, warga diwajibkan memperlihatkan kartu keluarga. Sebagai syarat mendapatkan bantuan.

“Saya datang di salah satu posko bantuan yakni di Posko Pendopo. Saya minta bantuan tapi disuruh sediakan kartu keluarga. Bahkan harus rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan bantuan,” (SuaraSulsel.id,19/1/2021)

Akhirnya demi mendapatkan bantuan, banyak warga yang terpaksa kembali ke reruntuhan bekas rumah mereka untuk mencari Kartu Keluarga (KK). Mengapa sedemikian keji hati, apakah masih ada gunanya KK ketika bencana itu sudah meluluhlantakkan rumah, ladang dan desa mereka,bahkan mencerai beraikan keluarga mereka?

Betapa nasib Firman dan ratusan pengungsi yang selamat bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Saat mereka baik-baik saja, kerja mereka, rumah , bangunan bahkan gaji mereka ditarik pajak oleh negara. Namun begitu bencana, untuk menolong saja dipersulit. Siaran berita di media nasional saja tak segencar acara sepakbola atau gosip artis yang borjuis.

Kembali ke reruntuhan rumah jelas resiko berat yang harus diambil pengungsi, sebab situasi bisa berbalik lebih buruk. Ancaman gempa susulan bisa terjadi kapan saja. “Saya memberanikan diri kembali di rumah mencari Kartu Keluarga yang sudah tertimbun. Padahal takut ada gempa susulan,” jelas pria asal Bulukumba yang kini sudah berdomisili di Sulawesi Barat.

Baca juga  Boikot, Solusi Parsial Penyumbang Sesal

Firman juga berharap kepada pemerintah agar kiranya tidak perlu mempersulit warga untuk mendapat bantuan. Misalnya harus bersyarat memiliki Kartu Keluarga atau KTP. “Ini kan bencana, dipastikan banyak masyarakatnya yang menjadi korban tidak sempat mengambil Kartu Keluarga atau KTP. Jadi, kami berharap semoga pemerintah bisa memahami dan mengerti,” harap Firman.

Berbeda dengan alasan yang dikemukakan Dinas Sosial Kabupaten Mamuju, dengan mewajibkan korban yang ingin mendapat bantuan sembako memperlihatkan kartu keluarga tujuannya adalah agar bantuan tepat sasaran. Sungguh kebijakan yang mengada-ada. Mengapa hal yang kasat mata pun tak bisa dicerna dengan baik? Hingga baru diadakan peninjauan kembali setelah banyak yang protes.

Bagaimanapun, keberadaan negara baik dalam keadaan aman, bencana, genting, perang atau apapun adalah untuk mempermudah rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka visi misinya haruslah pengurusan, bukan perhitungan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,”Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Baca juga  Opini: Krisis Energi Dunia, Berkah atau Bencana bagi Indonesia?

Terlebih saat bencana terjadi, tentu pemerintah adalah pihak pertama yang melakukan pertolongan, bahkan hingga proses recovery. Baik instrastruktur maupun mental. Bencana meski bagian dari Qodarullah tetaplah meninggalkan trauma. Dan pertolongan itu adalah terbaik dalam kualitas, tercepat dalam pelayanan. Bukan justru meributkan masalah administrasi sementara yang hadir hanya mie instan. Fakta yang tersaji hari ini bisa dikatakan gerak cepat namun salah kaprah.

Inilah yang terjadi jika penguasa duduk berkuasa tapi tidak totalitas untuk mengurusi urusan rakyat. Rakyat hanya beban ketika ada kewajiban negara yang harus ditunaikan. Namun mencekik hingga memeras darah rakyat ketika menangguk pendapatan. Bisnis? Ya, hal demikian dalam sistem politik demokrasi kapitalisme adalah sebuah keniscayaan.

Lihatlah betapa pemerintah loyal dan gerak cepat ketika diminta oleh pengusaha memudahkan upaya mereka mencari dollar. UU Omnibuslaw, UU Minerba dan yang lainnya. Pasalnya banyak yang memuluskan langkah mereka menguasai SDA Indonesia.

Betapa bencana di beberapa wilayah Indonesia tercinta adalah bukti nyata betapa rakusnya mereka mengeruk keuntungan. Padahal SDA adalah hak rakyat, dalam syariat masuk dalam kepemilikan umum. Artinya, semua orang berhak mendapatkan manfaatnya baik langsung dan tidak langsung. Negara adalah pihak yang mewakili rakyat dalam mengelola, sebab jika diserahkan kepada individu rakyat selain kesulitan biaya, alat dan keahlian juga rentan menjadi monopoli segelintir orang yang menghalalkan segala cara.

Baca juga  Opini: Hilangnya Fungsi Qawwamah

Disinilah pentingnya kita memilih pemimpin , bukan sekedar ia wakil sebuah partai. Syekh Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Sesungguhnya memimpin manusia merupakan kewajiban yang paling utama, bahkan tidak tegak urusan agama dan dunia kecuali dengan adanya kepemimpinan. Maka memilih pemimpin menjadi kewajiban agama dan ibadah kepada Allah SWT.”

Kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Maka bagi orang beriman,ini bukan masalah sepele, ia tak akan berani memimpin dengan sembarang aturan, sebab jika salah ia harus siap menerima siksa Allah yang tak akan sanggup ditanggung oleh manusia atau makluk manapun yang pernah diciptakan Allah.

Maka ia harus menggunakan aturan Allah, sehingga ia bisa benar-benar memimpin secara adil dan bijak. Aturan Allah atau syariat jauh dari kepentingan segelintir orang. Jelas akan lebih baik dari apapun. Wallahu a’lam bish showab.