POINSEMBILAN. COM-MAJENE, Perhimpunan pelajar Mahasiswa Mamuju (PPMM) menggelar dialog kepemudaan yang mengangkat tema peran pemuda dan mahasiswa dalam menangkal radikalisme di dunia kampus, Sabtu (29/2/2020) malam di kafe Godwill Majene.
Mansyur, Ketua FKUB Kab. Majene mengatakan, di Majene paham radikal tidak terlalu memberikan gesekan dibandingkan Kab. Polman dan Mamuju. Namun bukan berarti tidak ada permasalahan terkait keberagamaan di Kab. Majene. “Misalnya sempat ada penolakan saat pendirian gereja di Kab. Majene. Namun saat ini permasalahan tersebut sudah usai,” ujar Mansyur.
Mansyur menambahkan, FKUB Kab. Majene bekerjasama berbagai pihak terkait seperti Polres dan Kemenag untuk merangkul perdamaian antar umat beragama di Majene. “Meskipun demikian radikalisme perlu terus dicegah oleh semua pihak, termasuk kalangan pemuda. Pencegahan tersebut dimulai dengan meningkatkan rasa toleransi antar umat beragama kepada seluruh masyarakat,” tambahnya.
Senada diungkapkan, Hasyi, perwakilan Kemenag Kab. Majene. Dia mengatakan, radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. “Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan Agama tertentu, pada dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran Agama,” ungkap Hasyim.
Hasyim menilai, teror adalah usaha untuk memberikan rasa takut atau teror, sementara teroris adalah pelaku yang menjalankan kegiatan teror. Sementara terorisme adalah pemikiran bentuk kegiatan dari kelompok teror tersebut
Sementara itu, Ustadz Said, Dosen STAIN Majene/ Pengamat Radikalisme mengatakan, radikalisme merupakan usaha sporadik untuk mengubah pembaharuan sosial dan politik secara menyeluruh dari akar permasalahannya. Radikalisme terbagi menjadi dua bagian.
“Radikalisme keras, seperti pengeboman, pembunuhan, dan aksi terorisme lainnya. dan radikalisme rendah, dalam bentuk pemahaman seperti menolak hormat bendera,” urai Ustadz Said.
Said menambahkan, terorisme terjadi karena adanya pemikiran sempit yang diterima dari Imam yang salah. Hal inilah yang mengakibatkan pemahaman dari Al Qur’an maupun hadits diterima mentah-mentah tanpa memahami dalil pengebab ayat tersebut diturunkan dan makna dari ayat-ayat tersebut.
“Fenomena radikalisme belum ada, namun memiliki potensi berkembang. Untuk mencegah radikalisme di tingkat Kampus, maka diperlukan peran Dosen yaitu meningkatkan kepedulian kepada mahasiswa, aktif mengingatkan Mahasiswa untuk menghadiri kegiatan kampus yang positif, aktif berkomunikasi dengan mahasiswa dan memberikan kegiatan bersifat positif untuk mengisi waktu luang mahasiswa,” ungkap Said.
Selain itu, lanjut Said, radikalisme bisa dicegah oleh mahasiswa itu sendiri dengan cara meningkatkan rasa nasionalisme di tingkat mahasiswa, pemahaman moderat terbuka toleran, waspada provokasi, hasutan dan pola rekrutmen sera membangun jejaring offline dan online untuk menambah pengetahuan
Mu’min, Dosen Unsulbar/ Akademisi Penyebaran Ideologi Transnasional mengatakan, setelah runtuhnya kekaisaran Ottoman Turki, pada masa Mustofa Kemal Attaturk prinsip-prinsip Islam dan simbol-simbol Islam dilarang untuk digunakan secara publik. Padahal sebelumnya kekaisaran Ottoman menganut ajaran Islam secara utuh. Kemudian muncul pergeseran pemikiran Ideologi Islam di Mesir, dengan muncul Ikhwanul muslimin.
“Awalnya gerakan Ikhwanul muslimin merupakan pemikiran kebudayaan, namun seiring waktu berubah menjadi gerakan politik yang kini mulai berkembang pemikirannya menjadi radikal. Bahkan pemikiran Ikhwanul muslimin berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia,” ungkap Mu’min.
Mu’min menambahkan, pemikiran radikal semakin berkembang setelah adanya perang dingin antara Rusia dan AS. Islam dimanfaatkan sebagai senjata oleh AS dengan cara menampung mujahidin- mujahidin yang pertama dan membentuk organisasi terorisme pertama yang disebut Taliban/ Al Qaeda di bawah pimpinan Osama Bin Laden. Setelah organisasi tersebut membesar akhirnya lepas kontrol dan menjadi Organisasi terorisme internasional, yang puncaknya menjadi peristiwa 9/11 pada tahun 2001.
“Pemikiran radikalisme pada saat ini juga mencakup ranah politik. Misalnya dengan berdirinya Organisasi Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin An Nabbani. HT berambisi untuk menjadikan Ideologi Islam dan Sistem Khilafah Islamiyyah diterapkan secara global, termasuk masuk ke Indonesia dengan Organisasi HTI. Meskipun saat ini HTI sudah dibubarkan, namun pemikiraannya masih ada dan terus berkembang,” tambah Mu’min.
Senada diungkapkan Noer Ramadhan La Udu, Aktifis Pemerhati Kebangsaan. Dia mengatakan, saat ini terdapat berbagai aliran Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis dll. Namun pemikiraan radikal baru mulai berkembang pada abad 21.
“Adapun ciri-ciri radikalisme yaitu cepat mensesatkan, mengkafirkan dan membidahkan kelompok yang berbeda dengannya, tekstualis dalam menafsirkan ayat Al Qur’an dan hadits tanpa melihat konteks ayat itu berbicara tentang hal tertentu, tidak mampu menerima kritik atau perbedaan pendapat tentang pemahamannya dalam beragama serta mengajarkan pemikiran Islam seperti Khilafah Islamiyyah,” urainya.
Penyebab seseorang menjadi radikal menuruti Prof. Quraish Shihab hanyalah karena kebodohan. Kelompok radikal tidak mau memahami agamanya dan tidak mau memahami agama orang lain. Hal ini mengakibatkan mereka tidak mau menerima perbedaan dari kelompok lain, baik yang seagama maupun berbeda agama.
“Solusi dari radikalisme yaitu mengubah Islam yang ekslusif menjadi inklusif, menjadi seseorang yang nasionalis dan memiliki sikap pluralisme antar umat beragama,” kunci Ramadhan. (Awal Nugraha)