

Oleh : Novita Ekawati
Kembali para calon jamaah haji harus menelan pil pahit ketika pemerintah Indonesia mengumumkan pembatalan keberangkatan haji 2021. Sudah 2 tahun sejak 2020 pemberangkatan haji dibatalkan dengan alasan pandemi covid -19 dan demi keamanan para jamaah. Hal tersebut diumumkan dalam konferensi pers Menteri Agama yang disampaikan 2 Juni 2021.
Sekian ragam rumor di masyarakat beredar mulai dari alasan tidak diterimanya vaksin Sinovac oleh Arab Saudi karena dikabarkan Saudi hanya menerima jamaah yang telah di vaksin Pfizer atau Moderna. Ada pula rumor bahwa dana haji telah terpakai oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.
Rumor di masyarakat semakin kuat ketika pertanyaan muncul, siapa sebenarnya di balik pembatalan haji ini. Apakah memang Saudi yang tidak menerima jamaah Haji Indonesia karena alasan tertentu, sehingga pemerintah Indonesia harus membatalkan pemberangkatan jamaah? Atau karena memang Indonesia sendiri yang secara sepihak membatalkan pemberangkatan jamaah di tahun ini? Meski pada akhirnya pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk tidak membuka kedatangan jamaah haji dari negara lain, selain warga negara Saudi itu sendiri.
Di luar dari hal tersebut, ada hal yang lebih menyakitkan masyarakat adalah pemerintah memperbolehkan calon jamaah haji untuk mengambil kembali dananya dengan catatan tak bisa naik haji lagi. Bahkan bila calon haji telah berusia 50 tahun, konsekuensinya kemungkinan tidak akan mendapatkan kesempatan berhaji seumur hidup. Hal ini disampaikan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu (https://portalbrebes.pikiran-rakyat.com ). Sehingga hal ini makin memperkuat asumsi masyarakat bahwa dana haji telah dipakai oleh pemerintah untuk hal yang bukan berurusan dengan haji.
Di balik semua polemik dan rumor tersebut, sampai saat ini pemerintah Indonesia belum bisa mengklarifikasi semua rumor tersebut dengan pembuktian yang kuat.
Kapitalisme Biang Masalah Pembatalan Haji
Munculnya ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah Indonesia adalah hal wajar, ini dikarenakan setiap kali umat mempertanyakan kejelasan keberangkatan haji maupun keamanan dana haji, pemerintah selalu mengalihkan dengan jawaban-jawaban yang tidak memuaskan akal. Ditambah lagi dengan kebijakan penguasa yang sering kali inkonsisten. Implementasi dari kebijakan yang dibuat juga buruk membuat publik semakin tidak percaya terhadap apa yang menjadi keputusan pemerintah.
Di antara tudingan tentang dana haji yang memang sensitif dan dinilai jauh dari transparan, dapat dibayangkan, calon jamaah haji yang antre untuk diberangkatkan sudah lebih dari 5 juta orang. Sedangkan dana setoran yang terkumpul sudah mencapai Rp150 Triliun. Membuat masyarakat bertanya dimanakah dana-dana itu tersimpan?
Pemerintah sendiri meyakinkan bahwa keputusan pembatalan keberangkatan haji tak ada hubungannya dengan uang. Karena Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang dibentuk pemerintah tahun 2017 menggantikan Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU), disebut-sebut sudah bekerja dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
Namun tetap saja, track record pemerintah yang selalu bermasalah soal keuangan, terlebih dalam urusan utang mengutang. Membuat rakyat terus diliputi rasa waswas dan curiga. Khawatir dana haji mereka tak aman dan telah terpakai oleh pemerintah.
Itulah kiranya yang membuat pemerintah akhirnya membuat keputusan. Semua calon haji yang sedianya tahun ini diberangkatkan, bisa me-refund uang pelunasan, bukan uang pendaftaran. Setidaknya bisa terbangun kesan bahwa pembatalan haji—sekali lagi—tak terkait soal uang.
Kritik paling mendasar dari kisruh haji sesungguhnya adalah soal political will penguasa, ada atau tidaknya kemauan politik dari pemerintah terhadap urusan haji ini. Masalah dana hanyalah salah satu diantara polemik yang terjadi, yang kemudian diperkuat dengan alasan pandemi.
Sebagaimana diketahui, urusan pengelolaan haji sudah lama menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari masa ke masa. Antusiasme masyarakat untuk menunaikan salah satu kewajiban mereka ternyata tak diimbangi dengan pengurusan yang maksimal oleh negara.
Wajar jika muncul berbagai permasalahan. Seperti soal biaya haji yang sangat mahal, transparansi pengelolaan dana yang disetorkan, lamanya antrean yang kian tak masuk akal, regulasi yang selalu gamang, serta masih karut-marutnya pelaksanaan ibadah haji, mulai di dalam negeri hingga ke Arab Saudi.
Paradigma kapitalisme yang dipakai sebagai dasar pengurusan masyarakat memang membuat permasalahan ini seakan tidak ada ujungnya. Bahkan, kentalnya paradigma ini meniscayakan pencampuradukan antara hak dengan yang batil.
Mahalnya biaya haji misalnya, hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis yang berkelindan dalam urusan haji ini. Hal ini dikarenakan ibadah haji dalam kapitalisme adalah ladang bisnis yang bisa dieksploitasi. Mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, catering, jasa perizinan, jasa pembimbingan, dan lain sebagainya.
Begitu juga soal panjangnya antrean haji. Sejak lembaga perbankan berbisnis dana talangan haji menetapkan, bahwa masyarakat yang belum punya uang pun dengan mudah mendapatkan nomor porsi. Wajar jika dari tahun ke tahun daftar tunggu haji kian panjang, hingga lebih dari dua puluh tahunan.
Sayangnya, alih-alih menjaga masyarakat dari pelanggaran syariat, negara malah turut melegalkannya. Pemerintah turut menarik untung melalui lembaga keuangan pelat merah yang juga menawarkan dana talangan haji yang jelas-jelas berbau riba.
Tampak semakin jelas bahwa hubungan negara dan rakyat kian jauh dari prinsip riayah (pengurusan) yang berdimensi ruhiyah. Negara hanya memosisikan diri sebagai pembuat regulasi, bahkan mengatur urusan rakyat layaknya sebuah korporasi yang selalu berhitung untung rugi. Tidak heran jika rakyat dipaksa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Bahkan jika memungkinkan, dalam semua hal negara akan berlepas diri dari segala bentuk periayahan (pengurusan), termasuk tidak perlu memberi subsidi pada urusan-urusan masyarakat. Termasuk diantaranya alasan menutup kebutuhan biaya haji, uang setoran rakyat pun dimanfaatkan untuk investasi. Padahal, secara syar’i, praktik seperti ini bisa jatuh riba dan melanggar akad-akad syariat.
Islam Menjaga Kepengurusan Negara terhadap Urusan Umat
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Negara berposisi sebagai ra’in (pengurus) sekaligus junnah (perisai) bagi umat atau rakyatnya. Fungsi ini memiliki dimensi ruhiyah, berupa keyakinan bahwa kepemimpinan adalah amanah dari Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di Yaumil Hisab.
Maka, perintah dan larangan Allah akan senantiasa menjadi patokan negara dalam pengaturan seluruh urusan rakyat. Termasuk dalam memfasilitasi dan mempermudah masyarakat memenuhi kebutuhannya dan menunaikan kewajibannya.
Terlebih, dalam Islam, praktik ibadah semacam haji termasuk dalam syiar-syiar Allah yang wajib ditegakkan bukan hanya oleh individu, tapi juga oleh negara. Maka, urusan haji pun menjadi sangat politis, sehingga negara akan berhati-hati untuk memastikan penyelenggaraannya tak menemui hambatan yang berarti.
Sistem keuangan dan birokrasi negara dalam Islam pun akan mendukung, sehingga prinsip mudah, tepat, dan murah bisa terealisasi. Negara tak perlu melakukan praktik pelanggaran syariat hanya demi menutup kebutuhan penyelenggaraan ibadah haji yang katanya berbiaya sangat tinggi.
Maka menjadi suatu keharusan negara harus mengganti sistem yang Kapitalisme yang terbukti rusak dan merusak tatanan kehidupan dengan sistem yang terbukti kuat dan shahih, yaitu sistem Islam. Sistem Islam akan menjadikan teraturnya pengurusan negara terhadap seluruh urusan masyarakat, termasuk urusan haji dan segala bentuk pelaksanaannya, dengan pengaturan yang rapi dan bertanggung jawab oleh negara.
Wallahu a’lam bish-shawwab.