Oleh: Apriani, S.Pd (Pemerhati Sosial)
Korupsi seolah kasus yang tidak berujung. Buktinya terjadi lagi dan terbaru terkait kisruh pengelolaan tambang nikel di Blok Mandiodo Sulawesi Tenggara. Mirisnya, kasus ini menjerat beberapa pengusaha hingga pejabat negara.
Kisruh pengelolaan nikel terjadi saat KPK Endus Ekspor ilegal 5 juta Ton Ore nikel ke Cina. Padahal sejak 2020 lalu Indonesia sudah menetapkan larangan ekspor nikel ke luar negeri. Namun, pada tahun 2021 pemerintah menerbitkan 293 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Sulawesi.
Peneliti Trend Asia, Zakki Amali, menilai ambisi itu tidak diimbangi oleh pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Akibatnya, praktik penambangan nikel ilegal muncul dengan leluasa dan justru merusak lingkungan. “Diduga ekspor ilegal ore Nikel terjadi dari Januari sampai Juni 2022.” Temuan itu diungkapkan oleh Kasatgas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria. Detikfinance. Jakarta, Jumat (23/06/2023).
Direktur Eksekutif Center on Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengungkapkan, beberapa potensi modus ekspor ilegal penyelundupan nikel mentah bisa terjadi di smelter. Dia menduga pemilik smelter bisa jadi memiliki andil besar pada praktek ilegal ini.
Febri selaku Jubir Kemenperin mengatakan, “Hilirisasi jangan dilihat dari ownership smelter, baik itu penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri (PMDN). Melainkan lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi pembangunan nasional.” Republika.co.id, Jakarta, Ahad (13/8/2023).
“Saya menduga proses ekspor bisa mudah dan aman melalui terminal smelter, pemilik smelter bisa saja terlibat. selain itu, penyelundupan tersebut boleh jadi melibatkan beberapa oknum bea Cukai hingga otoritas pelabuhan. Oknum itu disuap agar pengiriman barang bisa mulus. Untung yang sangat besar dan berbagi dengan oknum aparat membuat pekerjaan itu bisa berlangsung mulus selama dua tahun. Dipastikan lokasi penyelundupan berada di Sulawesi dan Maluku Utara. Pasalnya, dua kawasan ini adalah penghasil nikel terbesar di Indonesia,” ungkap Yusri kepada detikcom, Minggu (2/7/2023).
Sejumlah penggiat lingkungan dan anti korupsi mengatakan, Kasus korupsi tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang menjerat sejumlah pengusaha hingga pejabat negara menunjukkan masih terbukanya “celah kongkalikong” di tengah tata kelola industri nikel yang carut marut. Dalam perkembangan penyidikan pada Rabu (9/8).
Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, sebagai tersangka. Ridwan disebut membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktik pertambangan ilegal di lahan konsesi milik PT Antam Tbk. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp5,7 triliun.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), meminta pemerintah agar mengevaluasi seluruh izin dan praktik pertambangan nikel di seluruh Indonesia. Selain hanya menguntungkan investor asing dan merugikan negara.
Produk smelter berupa NPI mendapat banyak intensif. Mulai dari pembelian bijih nikel yang jauh di bawah harga internasional, bebas pajak PPN, Mendapatkan tax holiday bebas PPH badan, bebas bea keluar atau pajak ekspor, kemudahan mendatangkan peralatan-peralatan mesin termasuk barang bekas pakai dan kemudahan mendatangkan TKA.
Kebijakan hilirisasi sepintas membawa keuntungan dibandingkan dengan ekspor nikel dan mineral lainnya. Namun, di Tengah oligarki yang berkuasa di negeri ini, nyatanya kebijakan hilirisasi tersebut hanya bermanfaat bagi segelintir kalangan bahkan cenderung merugikan rakyat dan menyuburkan para koruptor.
Kebijakan yang digadang-gadang untuk memandirikan negara dalam pertambangan kepentingan rakyat. Faktanya tetap bergantung pada investasi, termasuk investasi asing. Inilah dampak kebijakan sistem kapitalisme-neoliberal yang sekaligus membahayakan kedaulatan negara.
Kebijakan ekonomi terus diarahkan pada kepentingan pemilik modal. Penguasaan hanya bertindak sebagai regulator yang melayani kebutuhan para kapital. Sementara peran utamanya sebagai pelayan rakyat justru diabaikan. Hal ini didukung kebebasan kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum (rakyat) pada pihak swasta asing.
Bangsa ini kemudian terjajah dengan bangsa lain padahal lima negara penghasil nikel terbesar adalah Indonesia, Filipina, Rusia, Kaledonia Baru, dan Australia. Dengan penghasil nikel terbesar di dunia, harus dipahami bahwa nikel adalah barang tambang sekaligus milik umum yang pengelolaannya harus diserahkan pada negara dan hasilnya untuk kemaslahatan umat. Sungguh ironis dan batil jika kekayaan alam tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal fi Daulah al-Khilafah mengatakan,
“Barang tambang yang depositnya besar baik yang di tambang terbuka seperti garam, batubara atau tertutup seperti minyak, gas, emas, besi dan peralatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dapat dikategorikan milik umum atau milik negara.”
Namun, kekayaan alam yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat maka dibutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya besar yang wajib dikelola oleh negara secara langsung. Haram hukumnya memberikan wewenang SDA kepada swasta.
Adapun hasil dari pengelolaan wajib dikembalikan kepada rakyat seluruhnya, untuk barang-barang tambang yang tidak di konsumsi rakyat semisal emas, perak, tembaga dan batubara bisa di jual ke luar negeri dan keuntungannya digunakan untuk seluruh rakyat, semisal pembiayaan sekolah, rumah sakit dan pelayanan umum lainnya secara gratis.
Dengan demikian, kekayaan alam benar-benar terdistribusi secara merata di tengah masyarakat dan kesejahteraan akan terwujud. Untuk mengembalikan tambang ke pangkuan rakyat sebagai pemilik sesungguhnya maka umat harus Kembali pada sistem Islam. Pengelolaan SDA yang optimal dan membawa berkah hanya akan terwujud dalam penerapan sistem ekonomi Islam di bawah penerapan Islam kafah.
Wallahu A’lam.